February Project · FF Project · Genre · Length · One Shoot · PG -13 · Rating · Romance

[Season Of Love Project] If You Say My Eyes Are Beautiful


By slovesw

If You Say My Eyes Are Beautiful

‘Goodbye Memories’

Shim Changmin (TVXQ), OC. Oneshot. PG-13.

Pernah tidak kau sekali membayangkan semua kehidupanmu, semua masalahmu, sebagai sebuah lukisan?

Well, dipandang dari satu sisi, mereka semua nyaris sama; bermula dari titik. Titik dalam koordinat berkembang menjadi garis. Garis berkumpul menjadi satu kesatuan gambar yang bisa menjadi abstrak maupun konkret. Bukankah kehidupan dan masalah, semuanya selalu berasal dan bertransformasi seperti itu?

Di garasi lukis—begitu biasanya tempat ini disebut—milik Changmin, setidaknya aku belajar satu-dua hal tentang kehidupan yang ia coba torehkan pada lukisannya.

Ruangannya bersih; dindingnya dicat pale white. Begitu pun dengan lantainya. Ada satu meja, di mana segala jenis cat mulai dari cat poster, akrilik, sampai vermillion berkumpul di sana bersama dengan kuas-kuasnya. Kanvas-kanvas lukisan tertempel di dinding juga tergeletak di tepi lantai. Changmin mengubah dunianya menjadi monokrom di sini, lantaran kebanyakan lukisannya bercat hitam-putih. Tiada ciri khas Picasso, Da Vinci, maupun Mary Cassat. Changmin menonjol dengan sisi minimalisnya sendiri.

Yang akhirnya mengundangku mampir ke sini.

“Mereka bukan apa-apa, Danika.”

Changmin tergesa-gesa membuntutiku. Tapak kakinya yang semula bergema dari luar ruangan kini mulai mendekat masuk ke dalam. Ia mencoba merapikan kanvas-kanvas lukisnya yang tergeletak setengah berantakan di lantai garasi lukis. Membawanya berondongan secara paksa ke dalam bopongannya, hingga kepalanya jadi agak sedikit mendongak.

Sementara aku heboh sendiri dengan lukisan yang ia perlihatkan.

Aku tersenyum, “Jadi, sekarang hobimu melukis? Kenapa tidak sejak dulu saja?” tanyaku, seraya melarikan tanganku ke bingkai-bingkai lukisan.

Changmin meletakkan lukisan-lukisannya di suatu pojok ruangan, menepuk-nepuk tangannya guna membuang debu.

“Uh. Cuma hobi saja,” jawabnya—kelihatan ingin sekali memungkas pembicaraan dan segera mengunci ruangan ini jauh-jauh dari jangkauanku.

“Serius hanya hobi? Tidak mungkin hanya hobi kalau bisa masuk pameran dan—“

“Bukan aku yang mendaftarkannya.”

Kerut bertumpu di suatu titik di tengah-tengah dahiku.

Changmin mengusap peluhnya—yang entah sudah sejak kapan berada di sana—dan menjawab, “Oke, memang aku yang melukisnya. Tapi yang mendaftarkan lukisan itu bukan aku, Nik. Ada satu temanku, dia lumayan sering ke sini.”

Changmin kembali merapikan ruangannya—yang sebenarnya sudah baik-baik saja sejak tadi. Menyingkirkan satu barang dari satu sisi ke sisi lain.

“Lalu?”

Well, dia coba-coba mendaftarkan lukisanku ke sana. Dia, awalnya, tidak berniat memberitahuku. Tapi saat dia tahu bahwa lukisanku bisa masuk ke pameran itu, dia baru memberitahuku.”

Aku mendongak ke arahnya begitu ia memungkas penjelasannya. Lalu dia melanjutkan, “Dia wanita yang kautemui di pameran itu: Andrea Griffin.”

“Wanita yang juga memberitahu kalau pelukisnya itu kau,” bibirku tiba-tiba saja timpang, “teman dekat baru, eh?”

What—no,” manik antrasit hitamnya tak ayal membelalak selama sekian sekon. “Kami hanya teman saja—sama-sama korban pernikahan yang gagal, kurasa.”

“Oke, oke. Aku percaya denganmu.”

Aku, mau tidak mau, tertawa. Ia begitu jujur, tak berusaha menutup-nutupi statusnya di depanku. Begitu terbuka dan pemalu di saat yang sama.

Lukisan-lukisan Changmin mungkin cenderung tampak ‘berbicara-dalam-kebisuan’. Warna monokrom yang dipakainya tak pelak membuatnya terlihat mirip film bisu tahun empat puluhan. Namun titik, garis, dan bangun yang ia bentuk membuatnya terlihat berbicara.

Ada satu lukisan bentuk wajah di mana hanya setengahnya saja yang terbentuk; sementara sisi yang lain kosong. Lalu ada lukisan portrait satu wajah penuh; dengan bentuk bibirnya yang dibiarkan terbuka sedikit dengan mata yang tertutupi dua tangan. Entah semuanya sudah selesai atau belum, yang jelas Changmin berani menonjol dalam sisi minimalnya.

Oke, aku bukan penikmat seni, memang. Tapi setidaknya aku tahu mana lukisan yang bagus dan mana yang jelek. Mengutip apa kata orang: Bagus memang relatif, tapi jelek selalu mutlak.

Tak luput pula mural yang menyelimuti sebagian dindingnya. Di setiap pojok kanan bawah kanvas, terbubuh tanda tangan beserta huruf kapital SCM, inisialnya.

Aku mulanya mengamati mereka sekilas. Begitu aku mengitari sepertiga ruangannya, aku berhenti. Ada beberapa lukisan tertumpuk di sudut timur laut garasi. Kanvas-kanvas itu bertumpuk tak beraturan; seperti memang sudah sepatutnya dibuang. Ketika aku berjalan ke arah mereka dan menyentuh salah satunya, kudengar napas Changmin tercekat.

“Nik,” sergahnya.

Aku lantas membalikkan kepala, menggeser pandang beberapa derajat sebelum berkata, “Apa?”

Tak menghiraukannya, aku menyentuh salah satu dari mereka. Impresi awalku jelas masih sama dengan lukisan-lukisan sebelumnya; epik, di balik keminimalannya—sejenis dengan yang lain. Gambar-gambar itu hanya sketsa kasar, dengan bentuk mata di pojok kiri, hidung di pojok bawah kanan, siluet rambut di bagian tengah, dan bibir di sisi kanan atas—iya, mereka digambar secara terpisah. Pasti akan menciptakan satu potret yang cantik jikalau penggalan-penggalan ini menjadi kesatuan. Jemariku berlari di atas kanvas—

“Danika, ayo keluar.”

—namun tiba-tiba berhenti.

Tercekat, dan menyadari sesuatu.

Aku kenal bentuk bibir itu; aku paham tentang iris hitam arang yang coba Changmin gambar di sana; aku barangkali takkan mengenali bentuk hidung itu—atau setidaknya, tak pernah melihatnya seperti itu—tapi aku tak mungkin salah tentang siluet rambut yang ditorehkannya.

Changmin tepat berada di sampingku saat aku menahan napas, barangkali ia menyadari pupilku yang melebar. Atau otak tersendatku yang berusaha mencerna. Sebab ketika aku berkata, ia menyahut.

“Changmin, ini—“

“Iya, itu kau, Nik.”

Sudut bibirnya timpang; tersenyum lembut, namun dengan lekas berganti keruh. Mengusap tengkuk, ia melanjut, “Well, aku tahu aku bajingan. Tapi, yah, memang itu kau.”

Aku sudah pasti membuka mulutku terlalu lebar, lantaran kemudian Changmin menutupnya dengan tangan kirinya—tertawa dan mengambil alih lukisannya yang kupegang sedari tadi. Ia berpolah membersihkan bagian ujung-ujungnya, lalu berkata lagi, “Mereka sudah lama kugambar, dan hasilnya tentu saja, amatiran,” ia mengerlingkan matanya ke atas di kata ‘tentu saja’, “aku tidak mengekspektasikan kau bakal melihatnya, tapi kemudian kau menjarah isi garasi lukisku seperti ini.”

“Hei,” aku protes, “aku tidak menjarah apa pun di sini, oke?”

Changmin tertawa, mengiyakan lalu meletakkan kembali kanvas itu ke tempat sedia kala. Baru kusadari, bahwa di bawah-bawah kanvas itu masih banyak sketsa-sketsa mentah lainnya yang sejenis dengan yang tadi. Ada tangan yang digambar terpisah, dan beberapa gambar lain.

Yah. Mari berdoa agar mereka bukan potret-potretku yang lain.

Buru-buru Changmin menarik tanganku dari sana, mengarahkanku ke satu-satunya meja di ruangan—di mana cat-cat polikrom dan kuas-kuasnya berkonsentrasi. Wajahnya masih sepenuhnya keruh, namun setidaknya ia berusaha untuk tersenyum.

Aku tidak mengerti.

Jemariku tergenggam di udara, seakan mengais-ais sesuatu.

“Kenapa—” pikiranku masih separuh tak terkendali, “—kenapa aku?”

Ia mengangguk sedemikian mudahnya, menyandarkan sebagian besar tubuhnya di meja. “Memangnya kurang jelas apa lagi?”

Dagunya berkerut saat menggampit bibirnya menjadi bentuk garis. Changmin mengangguk berulang-ulang, tangan hangat yang mulanya menarik pergelanganku tadi kini turun, meraih telapakku dan menggenggam. Rasanya benar, namun juga salah di sisi lain.

Iris Changmin bahkan tak mencari-cari saat aku menatapnya lamat-lamat. Ia menginisiasi—menjilat bibir, “Ada yang ingin kautanyakan lagi, barangkali? Usahakan pertanyaannya yang lebih menyenangkan.”

Menguap, menguap sudah semua keseganan. Sialan, aku seharusnya tidak datang ke sini. Memang salah. Seharusnya aku masih di pantry, memeriksa lodong-lodong cheese stick lain. Bukannya ke sini. Salah.

“Tolol. Tetap saja, kenapa?”

“Sudah kubilang itu kugambar sejak lama, bukan? Kau seharusnya tahu alasannya.”

Irisku mencari-cari, namun Changmin tetap berusaha tersenyum. Baru kusadari, onggok tubuhnya yang terbungkus kemeja berkelir eburnean itu terlihat ringkih. Kontras sekali dengan dirinya yang dulu.

“Tentu saja karena aku merindukanmu, Danika.”

*

Aku dan Changmin sudah bercerai semenjak dua tahun yang lalu.

Alasan mengerikannya: aku menemukan pria yang lebih baik ketimbang dirinya. Oke, itu berengsek. Tapi aku punya cerita yang lebih berengsek di antara kami berdua.

Daniel Russell. Ialah lelaki itu yang menggantikan figur Changmin yang dulunya membayangi pikiranku, berkat pertemuan tak sengaja di gereja di tengah kota. Aku tak pernah lupa tentang rambut pirangnya, iris cornflower-nya, atau senyumnya yang membuncah semenjak hari itu.

Tak ayal, segalanya bertransformasi: tidur bersama Changmin rasanya tak lagi hangat; percakapan sore hari tak lagi terasa menyenangkan; ciuman di pagi dan malam hari terkesan seperti sebuah kesalahan; dan puncaknya, aku tak lagi memikirkan tentang hari tuaku bersama Shim Changmin, atau bahkan untuk menghadiahi Charlotte—anakku bersama dengan Changmin—seorang adik.

Selang beberapa hari kemudian, Changmin menangkap basah aku dan Daniel—yang saat itu berusaha membersihkan noda lipstik di bibirnya—di parkiran rumahku. Rumah kami.

Ia tak marah, bahkan malah aku yang mengajukan cerai kepadanya. Tidak masuk akal, kalau kupikir-pikir sekarang. Semuanya terbuang percuma, karena perceraian itu tak memberi makna yang berarti bagi kami berdua. Aku, yang nyatanya semakin tercerai-berai, dan Changmin—yang mulanya kupikir hidup lebih bahagia—ternyata tak jauh beda denganku.

Lalu sekarang, aku kembali ke rumah Changmin—berkat perjumpaanku dengannya di sebuah pameran seni minggu lalu. Seolah ingin memberi impresi yang mengejutkan, aku dihadapkan denan situasi seperti ini di garasi lukisnya. Aku, tak pelak mengubah Shim Changmin sebagai seorang fanatik.

Ironis sekali, sialan.

Masih terdisorientasi; terberai begitu saja pemikiranku, “Lalu, mengapa terpisah dan—“

“Gambar-gambar itu?” Changmin memotong, lantas memperhatikan ubin-ubin simetris di bawah, “Satu hal lain yang harusnya kauketahui, adalah betapa tangan-tanganku ingin sekali menggambar potretmu dengan utuh.”

Ia memandangi kedua tangannya, kemudian melanjutkan.

“Ini sinting, Nik. Tapi tentu saja, sebenarnya aku tidak ingin menjadi satu di antara mantan-mantan suami di dunia ini yang sinting; yang masih hobi menggambar potret mantan istrinya di waktu luang. Jadi aku memisahkan mereka—rambutmu, bibirmu, matamu—karena aku khawatir aku jadi gila, karena membayangkanmu di siang dan malam,” Tawanya tersisih di akhir aklamasi. Changmin baru menatapku sepersekian detik kemudian.

Idiot. Lalu bodohnya, aku juga terdiam.

“Ya, kendati aku tetap masih tetap gila. Ugh, what on earth did I just say? Gila, ya?”

Changmin, yang berdiri di depanku saat ini, kembali tersenyum di balik kegugupannya. Persis seperti senyum yang ia berikan di malam Minggu itu—di malam Natal, melamarku dengan senandung If You Say My Eyes Are Beautiful dalam baritonnya yang sempurna. Mengundang nostalgia, jelas. Aku bahkan masih hafal di lirik mana Changmin mengeluarkan cincin gemerlap dari sakunya:

‘And by far, you are more beautiful than anything I ever know,’ di penghujung lagu.

Aku berusaha mencicitkan satu-dua kata, atau mengeluarkan kekehan. Namun nihil. Aku malah melempar pandang ke dinding garasi, berkasak-kusuk, mencurangi diri sendiri.

“Kautahu kalau kita,” aku memandangi benda-benda yang lain, mencari kata yang tepat, “kita tidak seharusnya begitu, bukan?”

“Bukan kita,” sanggahnya, jemarinya terasa menelusup di relung jariku. Masih terasa lengkap. “Hanya aku, Danika-ku. Kau pasti ketakutan bukan, menghadapi mantan suami fanatik seperti aku?”

Changmin berusaha memendam tawanya; ia tertawa pelik, bukannya bahagia. Sialan.

“Masih sama seperti yang terakhir kautahu tentangku, Danika. Masih sama.”

Mataku berair. Sialan, Shim Changmin. Sialan dia, dengan segala perangainya yang lembut. Dengan segala perlakuannya yang memanja. Dengan segala sorot iris hitam antrasitnya yang penuh damba dan cinta.

“Tapi,” ia melanjutkan—kendati raut romannya cukup menjelaskan bahwa sebenarnya ia enggan, “bukannya aku mengemis padamu supaya kembali padaku. Atau bahkan menyesali perceraian kita. Kautahu, itu jelas keputusan terbaik yang pernah kau—kita buat. Anyway, bagaimana kabar Charlotte?”

Ia mengalihkan topik, rupanya.

Senyumnya hangat, dan kini ia dengan berani memagut pandang ke arahku. Tanpa secuil ragu. Tangannya bahkan masih tak ragu untuk menggenggamku. Masih seperti dulu, masih sama. Tiada yang luntur darinya, tiada yang berubah. Hanya aku yang berubah, ia tidak.

Entah kenapa, aku senang dengan kenyataan bahwa ia tak menanyakan kepadaku tentang Daniel—atau aku akan jadi gila jika ia bertanya.

“Ia tumbuh dengan baik,” sambutku, tertawa mengenang putriku yang masih berumur empat tahun itu, “kau tetap Dad bagi dia.”

“Bagaimana dengan Dan? Kapan ia akan mengubah nama akhirmu menjadi Russell?”

Berengsek.

Keparat. Aku ingin sekali melarikan telapak tanganku ke wajahnya; entah untuk tujuan menamparnya lantaran dengan lancang menanyakan hal itu kepadaku—atau untuk tujuan menarik wajahnya dan menciumnya lantaran berpikiran sedemikian frustrasinya.

Shim Changmin berputar poros, menjadi seorang bohemian yang terlihat putus asa namun tak peduli dengan masa depannya.

“Lancang sekali kau bertanya hal itu kepadaku,” aku tertawa, mencoba mengalihkannya agar tak merambah topik ini, “kau tidak seharusnya menanyakan hal itu kepada mantan istrimu, kautahu.”

“Oh, apa itu pertanyaan yang terlalu sensitif untukmu?” Changmin terdengar sarkastis, namun wajahnya dipenuhi jenaka. Kemudian berotasi dengan memagari wajahnya dengan ketulusan, “Tapi serius, Danika. Aku akan selalu menunggu undangan kalian di kisi-kisi pintuku.”

Well, boleh kuanggap itu sebuah sindiran?”

Kami berdua tertawa. Namun di tengah-tengah itu, tak ada intensi dariku untuk menjatuhkan satu titik air menuruni pipiku. Tapi sialan, sudah terlanjur. Mengoyak perasaan—tentu saja. Menjelma menjadi aliran kecil, sebelum akhirnya empu jari milik Changmin menghentikannya.

“Aku benar-benar mengubahmu menjadi pria melankolis, ya?” tanyaku, retorik di setiap katanya.

Changmin, lagi-lagi, tertawa. Aku heran bagaimana ia masih bisa tertawa semengagumkan itu. “Tidak juga. Kupikir ada untungnya juga. Even the wildest storm has its own rainbow.”

“Ucapanmu itu benar-benar basi.”

Membayangkan Changmin menjadi tipe pria filosofis jelas hal yang konyol; tapi itu dulu. Sekarang memang ia, seperti itu. Sama halnya dengan lukisan-lukisannya yang mengubini dinding: tak banyak bubuhan, tak terlalu sesumbar akan komposisinya, namun tetap kaya dalam kesederhanaannya. Seperti yang kukatakan di awal: melalui lukisannya, aku belajar satu-dua hal tentang kehidupan.

Bukankah Shim Changmin yang dulu pernah kucinta, memang seperti itu?

Aku mencondongkan tubuh, mencium pipinya sebelum akhirnya ia berdiri tegak. Mengeluarkanku dari tempat ini.

“Mungkin ini yang menjelaskan mengapa kau berkeras sekali untuk menjauhkanku dari sini, bukan?” kelakarku, mencairkan suasana.

Tangan Changmin masih menggenggam penuh telapak tanganku, mengarahkanku ke pintu.

“Bisa jadi,” ia tersenyum, “kau mungkin mau earl grey? Atau beberapa minuman lain yang ada di lemari pendinginku?”

Aku mengangguk enggan, masih mengagumi dirinya. Sesempurna itu ia, terhadapku.

Ingin sekali hatiku berteriak, melolong bahkan kalau bisa. Berujar kepadanya, bahwa undanganku dengan Daniel takkan pernah mampir ke kisi-kisi pintunya. Daniel takkan pernah mengganti nama akhirku. Karena itu, satu kalimat yang ingin kuutarakan kepada Changmin, mantan suamiku, adalah:

“Daniel meninggalkanku, dan Charlotte masih memanggilmu ‘Dad’ di tengah malam, Changmin.”

14 thoughts on “[Season Of Love Project] If You Say My Eyes Are Beautiful

  1. Ini…bagus…banget! Duh, kebayang banget situasi dan segala setting-nya. Melankolis, manis, tegas… Ga nemu kalimat yg benar-benar tepat, tapi saya suka sekali ini. Semacam Divortiare dalam gaya bahasa yang berbeda (yang lebih saya sukai dalam opini pribadi).

    Like

  2. KEREEENN!!! SUKA BANGET ❤
    Suka diksinya ❤ suka penggambaran interaksi keduanyaa ❤ suka deskripsi latarnya ❤
    dan suka ide ceritanya jugaak! ❤ ga nyangka banget mereka itu tadinya pasutri ;')
    pokonyaa kereen banget! tulisan kamu bikin ketagihaaan… XD
    termasuk endingnyaa…. berasa pingin teriak "haduuh, udahlah kalian buruan rujuk" wkwk

    Dan… ya ampuuun changmin versi begini nih yg bikin melting! lol XD

    btw salam kenal buat authornya, iin. 94line. ^^

    Like

  3. Kak…..
    Kaktata!
    Seneng liat kaktata lagi heu. Seperti biasa yha, ini sangat simpel tapi kaktata bisa gitu mengemasnya dengan baik. Entah kenapa juga akhir-akhir ini aku baca novel tentang suami-istri cerai2/pisah gitu lha terus aku jadi senyum2 sendiri entah kenapa waktu baca ini. Aku suka Changmin-nya banget di sini!!!<3<3 Bayangin dia senyum awkward gitu, aduh lemes hati q. Jadi, kaktata, mereka rujuk nggak nih? LOL Keep writing, gurl ❤

    Like

    1. SHIA SHIA HELLO MY SUNSHINE!!! haduh kangen sama kamuuuu! huhuhuhuh abis ini aku ke blogmu deh yah yah mumpung lagi on HUHUHUHUHUHUHUU. aku sebenernya kurang bisa sih shia bawain tema-tema marriage-life kaya gini wong aku sendiri soalnya belum nikah (EEEE) hehe. changmin emang ganteng ;w; huhu ruju nggak ya? LOL. keep writing too, Shiaaaaaa!

      Like

  4. how big your love for Danika, Changmin :’) u r a man!
    Dan endingnyaaaaa, Danika kena batunya sendiri karena keberengsekannya sendiri, huft. tapi tetep aja sedih jadi kayak gimanaaaa gitu.
    Nice fic! Keep writing!

    Like

  5. TAT HOLA! Aku baru kemari setelah entah tertelan kemana. HUHU.
    Baru tahu kamu kalo pake bang changmin ini. Aku jarang menemukan fanfiksi yang pake cast TVXQ. Tapi sekali ada ya, itu selalu keren. Termasuk ini ❤ Pertama aku suka namanya. Danika. Karena akhir-akhir ini banyak penulis yang oc-nya itu pake nama barat not korean. Jadi sering kebawa-bawa HEHEU.
    Awalnya nggak nyangka kalo mereka berdua itu dulu suami-istri. Terus pisahnya itu gegara Danika udah bosen kah? Iya juga sih, kalo pacaran yang baru beberapa bulan aja banyak jenuhnya. Apalagi yang nikah udah bertahun-tahun :') Tapi bosen juga nggak bertahan lama ya. Dua-duanya tersiksa deh. *ini malah curhat*
    Suka banget TAT! Keep writing ❤

    Like

    1. PAAAAAT OMG MISS YOUUUUUUUU SO DAMN MUCH!!! hahahaha kaget banget nemu komenmu di sini XD aku sampe cekikian LOL ((beneraaan)).

      Changmin itu, bisa dibilang, first love-ku di kpop lah ya (tsah). emang jarang banget fanfic cast-nya TVXQ padahal mereka dewa bangeeet! aku sampe sekarang malah masih sering dengerin lagunya TVXQ pas jaman-jaman mereka masih berlima :” hahaha.

      Danika itu…. aku sebenernya ngambil dari nama tokoh novel The Darkest Pleasure-nya Gena Showalter, Danika Ford. suka namanya XD ((tapi aku gak baca bukunya suwer HAHAHA mature soalnya)). alasanku make nama barat sih bukan apa-apa, Pat, cuma emang aku aslinya gak bisa bikin nama korea LOOL.

      Iya, Danika semacem bosen gitu Pat, dia kan selingkuh, eh ditinggal selingkuhannya :” Iya, pacaran apalagi yang masih awal-awal itu biasanya bosen, pasti kaya coba colong sana colong sini. Ya nanti nasibnya kaya Danika :” WKWKWKW AKU NGOMONG APA DEH.

      makasih bangeeeet Pat omg miss you!!!! have a great time yaa! maaf baru baleeeees ;u; ❤

      Like

      1. AKU JUGAA KANGENNN TAT! HUHU. Kamu lama banget nggak kelihatan 😦 Mau UN ya? Duh semangat deh, rajin belajar. Kok masih sempet buka wp, apa nggak sibuk?? Nanti kalo udah selese semua, kita cerita-cerita lagii. Semangat!! ❤

        Like

Leave a comment