Freelance · Genre · Kekerasan · Length · One Shoot · PG 17+ · Pshycho · Rating

[FF Freelance] LONESOME


FF LONESOME

Tittle : Lonesome

Author: Sinta Kuro Kurosaki

Cast : Lee Sungmin

Other cast : OCs

Genre : Pshycho, kekerasan

Rate : PG17

Lenght : Oneshot

Disclaimer : cerita milik saya mutlak. Tokoh milik Tuhan, orang terkasih, dan dirinya sendiri. Don’t bash, don’t plagiat. RCL WAJIB. Ide mahal choy!

 
Film itu sungguh sangat menarik. Benar-benar menarik minatku. Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Hari pemutaran film perdana dari salah satu jurusan di sekolahku. Pemutaran film ini dihadiri enam kelas dari ketiga jurusan yang ada. Dalam satu kelas terdapat 30 orang murid dengan 6 orang siswa di setiap kelas, jumlah total 180 orang murid berkumpul dengan 36 orang laki-laki dan 144 orang perempuan. Ada banyak film yang diputar, tapi yang paling kusuka adalah yang satu ini. Kisahnya mengenai pembalasan dendam dari seorang anak korban bullying dan seorang pemuda yang kekasihnya dihamili orang dengan cara membunuh orang-orang yang menyakiti mereka, otak dari pembunuhan itu tak lain adalah kawan sekelas mereka sendiri yang juga ikut membunuh. Akhir cerita, semua orang yang ada di kelas itu mati.

 

Selama film itu ditayangkan, aku banyak mengkritik cara membunuh mereka dan teman di sebelahku menganggap aku bercanda. Tapi tidak, aku bersungguh-sungguh kawan. Jangan sampai kau tahu duduk disamping siapa, jika tidak kau tak akan bisa memberitahu temanmu yang lain siapa aku. Kau mati. Sayang, jangan buang energimu untuk mencaritahu siapa aku, biar aku saja yang menunjukkannya…

 

Melihat tayangan ini benar-benar membuatku sulit mengendalikan diri. Aku butuh sendiri. Aku tak mau berbuat bodoh dihadapan banyak orang. Sebaiknya aku ke kamar kecil. Aku perlu mendinginkan dan menetralkan kembali pikiranku yang mulai tak terkendali. Jangan tanya aku masuk ke toilet mana, yang pasti aku akan memanfaatkan kesempatan emas yang ada. Kututup pintu bilik toilet ini dan kukunci. Bayangan- bayangan pembunuhan seolah terputar di kepalaku. Argh! Jangan sekarang! Aku masih disekolah! Tangan kanan ku bergerak membuka ransel dan mengambil belati yang memang selalu ada di sana. Senyuman- senyuman yang aku sendiri tak tahu berasal dari mana mulai terkembang di wajahku. Kukenakan topeng yang memperlihatkan sebagian pipi dan bibirku. Jubah andalan juga kukenakan.

 

Aroma ini… aroma yang mmmh… menggugah seleraku… sayang, jangan sampai kau menyesal, kau yang mengundangku. Kubuka kunci bilik ini secara perlahan, mencegah suara yang dapat menggagalkan aksiku. Perlahan kudekati seorang gadis yang berdiri di depan cermin. Ia terlalu asyik berdandan hingga tak menyadari keberadaanku, hingga matanya melirik dan menatap bayanganku tepat di mata. Kontan ia berteriak. Sayang, kau bisa membuatku dalam bahaya. Kubekap mulutnya dan kuseret ia kedalam bilik toilet. Kau pasti sudah tahu apa yang akan kulakukan padanya. Bagaimana pun aku pria, meski bukan pria baik-baik bahkan kau juga bisa menyebutku pria tidak normal. Gadis sialan ini rupanya juga bukan gadis baik-baik, aku bukan yang pertama jadi aku tak terlalu merasa bersalah atasnya. Dan untukmu gadis sialan, akan kuhadiahkan keabadian. Kuhujamkan belati tepat di rahim dan dada kirinya. Terima kasih, sayang.

 

Aku tak mau berlama- lama disini bersama mayat gadis sialan ini. Dengan darah yang masih menetes dari ujung belati, aku keluar dari bilik ini. Tepat saat aku melangkah seorang gadis tengah berdiri menunggu di depan pintu. Seperti biasa ia berteriak. Tak mau mendengar teriakan yang memekakkan telinga itu, kuhujamkan belati itu tepat di ulu hati, dan ia terkapar dengan yah… menurutku itu pose yang bagus untuk mati. Kaki tebuka dengan rok mini yang sssshhh…! jangan menggodaku, kau sudah mati nona!

 

Ah… darah… wangi ini… aroma besi dalam darah ini… membuatku benar-benar hilang kendali. Bukan, bukan karena aku tak suka bau darah, justru karena aku sangat menyukai bau ini. Ini canduku. Ini sisi lain dariku. Selama ini yang mereka kenal adalah pria manis yang diam, jarang bicara kecuali jika dia mau, bahkan sebagian orang menganggapnya gay, hanya itu. Karena yah… siapa juga yang ingin berkawan dengan psychopath? Jadi kukembangkan sifat diamku. Yah… alter-ego. Masa- masa dalam hidupku penuh dengan rahasia. Yang jika kau tahu, kau akan berharap ini hanya sebuah fiksi.

 

Hidupku memang seperti dalam sebuah kaya tulis fiksi yang bercerita mengenai ancaman seorang psychopath, tentu didalam fiksi itu akulah yang menjadi antagonis, tapi ini hidupku, ini kisahku, akulah protagonisnya.

 

Hidupku yang bermandikan darah ini bermula ketika aku beranjak remaja. Ketika itu aku kehilangan sahabatku karena penghianatannya, hingga aku mulai sulit bersosialisasi. Ini aksiku yang terhitung besar karena biasanya aku hanya membunuh orang-orang yang tak pantas hidup, tapi kini aku membunuh siapapun yang ku temui. Awalnya ada rasa takut dan khawatir, tapi lama kelamaan ini terasa menyenangkan, senyuman selalu terkembang ketika aku melakukannya.

 

Seluruh siswa yang ada di ruangan besar ini memusatkan perhatiannya pada layar yang menayangkan film. Kuhampiri salah seorang siswi yang kukenali dari perawakannya. Badannya cukup membuat pria yang ada di dekatnya merasa tersengat libido. Tak terkecuali aku. Ia bisa saja termasuk jajaran gadis sempurna jika saja ia tidak semurah itu, amat disayangkan. Kini aku telah berada tepat dibelakangnya. Ku tepuk pundaknya, ia menoleh dan langsung merubah raut wajahnnya ketakutan. Sebelum ia berteriak, dengan cepat kuangkat topengku agar ia bisa melihat wajahku.

“Ini aku.” Ucapku setengah berbisik.

“Ya! Kau… ada apa?” katanya juga setengah berbisik.

“Ikut aku! Bisa kau membantuku?” kataku dengan nada frustasi.

Ia menaikkan sebelah alisnya dan kubalas dengan tatapan lurus kearah dadanya, bibir bawahku sengaja kugigit untuk menambah kesan you-know-what.

“Bukankah kau …?”

Aku tak menjawab pertanyaannya. Kuturunkan kembali topengnya hingga menutupi lagi sebagian wajahku. Kuraih tangannya dan menariknya kesuatu tempat. Ia sama sekali tak melawan. Dasar gadis jalang! Kini kami telah berada di dalam gudang yang terletak di sebelah toilet. Sengaja kupilih tempat ini daripada toilet untuk meminimalisir teriakan yang dapat membuatku dalam situasi yang sulit. Aku pasti akan kesulitan untuk beraksi pada banyak orang. Tapi aku akan dengan mudah melakukannya saat ia sendirian, seperti sekarang ini.

“Tunggu dulu. Jadi rumor itu salah?” tanyanya ketika pintu gudang itu kukunci.

“Kau akan tahu sesaat lagi.” Jawabku seraya membuka topeng dan jubah.

“O… singa yang tertidur kini telah bangun!” serunya ketika melihatku yang tengah bersiap ‘menyantapnya’.

“Ternyata kau benar-benar seorang pria. Apa kau sering melakukannya? Sepertinya kau sangat berpengalaman.” Tanyanya setelah selesai dengan aktivitas biologis kami.

“Tentu saja.” Jawabku singkat.

“Terima kasih dan maaf sayang!” lanjutku

“Untuk apa?” ku dekati ia dan kucondongkan kepalaku pada telinganya, kuhirup udara tepat disana dan berbisik.

“Untuk barusan dan… ini.” Kuhujamkan dan kukoyakkan belati pada rahim juga jantungnya, sama seperti gadis sialan tadi di toilet. Ia mati.

 

Ha! Gadis jalang! Kau mudah sekali untuk diperdaya. Hanya dengan imbalan terpuaskan nafsu kau rela melakukan apapun dan kini kau mati karena itu. Kau bodoh sayang. Aku mungkin pria brengsek tapi kau yang mengundangku.

 

Aku keluar menuju ke ruang bawah tanah tempat saklar-saklar listrik sekolah berada. Disana ada banyak sekali saklar. Aku harus berhati-hati salah-salah aku bisa menimbulkan kecurigaan warga sekolah lain karena seluruh aliran listrik di sekolah tiba-tiba padam. Akhirnya kutarik satu tuas dan kembali ke ruang aula itu. Ternyata itu saklar yang tepat, seluruh aktivitas terhenti, semua panik. Ku kunci seluruh pintu aula yang ada dengan kunci universal yang ku punya dan masuk dari pintu belakang yang jarang dilalui orang –tentu saja ku kunci¬¬¬¬¬ juga—. Kapak yang tertidur di dalam ranselku ini kuambil dan kucium. Masih ada bau darah disana. Aku suka itu.

“Hai kawan, kau merindukanku? Apa kau siap?” Entah kenapa senyumanku langsung terkembang.

Aku berjalan menuju kearah samping aula, disana terdapat banyak jendela untuk penerangan. Kuketuk-ketukkan kapak itu ke jendela. Siswa-siswa yang melihatku menjerit dan membuat yang lainnya terkejut dan ikut menjerit juga karena kehadiranku. Seorang siswa menyerangku yang langsung kutebas dengan kapak yang kugenggam. Kulakukan hal yang sama pada segerombol siswa lain yang mencoba menyerangku. Aula itu kini penuh darah dan teriakan yang memekakkan pendengaran.

 

Setelah banyak yang mencoba melawanku, masih belum ada yang berhasil. Entah aku yang terlalu kuat atau mereka memang pria-pria lembek yang berpura-pura jantan dihadapan para wanita. Sekarang siapa yang lemah kawan! Aroma darah yang memenuhi ruangan ini membuat adrenalinku naik dan seolah menambah energi magis padaku.

 

Kursi-kursi yang ada di ruangan ini tak kusia-siakan, kugunakan benda-benda itu untuk menghalau perlawanan dari mereka. Seseorang yang menyerangku dari belakang berhasil melukai lenganku dengan kaki kursi yang patah yang masih tertancap paku. Sial! Kuayunkan kapakku memutar karena kini aku memang tengah dikepung. Kapakku berhasil menganai perut dari beberapa orang.

 

Sementara para siswa tengah menyerangku, para siswi berkumpul di satu sisi aula, mereka menangis histeris. Hah! Wanita! Pertahanan diri mereka sungguh unik. Beberapa kali kapakku berhasil membuat mereka tumbang. Lawanku semakin berkurang. Jarak aula yang cukup jauh dari gedung utama sekolah tempat para guru dan murid belajar, membuatku lebih leluasa. Karena tak akan ada yang bisa menghentikan aksiku ini. Sekolah ini… aku sama sekali tidak menyukai sekolah ini. Aku menyesal telah masuk ke sekolah ini. Aku benci semua orang yang ada di sini,mereka sama menyebalkannya dengan orang-orang dari sekolah lamaku.

 

Kini jubah hitamku basah oleh darah. Topengku pun terciprat sehingga bau amis itu masuk ke paru-paruku tiap kali aku bernafas. Udara didalam sini kental dengan bau amis darah manusia yang khas. Ini sangat nikmat bagiku. Sengaja kutarik kuat-kuat nafas agar aroma ini masuk kekerongkongan dan memenuhi paru-paruku.

“Arghh!! Mati saja kau!”

“Tidak ditanganmu, keparat!”

Tiga orang siswa yang tersisa berhasil menyudutkanku. Salah satu dari mereka adalah berandal sekolah. Ia memainkan pisau lipatnya, mencoba untuk menakutiku. Hei! Kau buta?! Aku menggenggam kapak penuh darah dan kau menakut-nakutiku dengan pisau kecil itu?! Kau cukup lucu untuk ukuran berandal yang ditakuti seluruh siswa di sekolah! Aku menunduk dan memejamkan mata mencoba menghirup energi magis dari udara berbau pekat ini. Kudongakkan kembali kepalaku, menunjukkan senyumanku.

“Apa yang kau tertawakan bajingan?!”

“Khkk…! kau bodoh!” jawabku sembari terus tertawa.

“Tidak ada yang boleh menertawaiku!”

“Go… Jin…Wook…! kau lucu sekali. Apa yang orang tuamu lakukan jika tahu putranya yang manis itu ternyata seorang berandal pembuat onar yang sering meniduri wanita? Apa mereka akan menjemputmu kembali ke Heundae? Atau… mereka akan membuangmu mengingat reputasi orang tuamu yang dikenal sebagai katua warga?” ujarku dengan masih tersenyum.

“Siapa kau? SIAPA KAU BAJINGAN?!!” nampaknya ia mulai marah.

“Siapa aku? Kau bilang siapa aku?”

“Jangan bertele-tele!”

“Kh! Kau terlihat sangat ketakutan. Aku ingin tahu reaksimu jika aku laporkan masalah ini pada orang tuamu. Itu pasti sangat menarik.”

“Jangan mempermainkanku! JANGAN PERMAINKAN AKU KEPARAT!!!” kali ini ia maju untuk melawanku.

 

Ku kibaskan kapakku ke arah tangannya yang bersiap untuk menusuk dadaku, aku berhasil merobek lengannya, sedang bahuku tergores pisaunya. Rupanya ia cukup tangguh, ia masih bisa menggunakan tangannya yang luka untuk menyerangku kembali. Aku berusaha menghidar namun punggungku telah menyentuh dinding, aku benar- benar disudutkannya. Kueratkan genggamanku pada kapak dan mengayunkannya silang membentuk abjad ‘X’. Karena tak memiliki tameng ia perlahan mundur. Melihat itu kulebarkan langkahku untuk mengubah keadaan yang baru saja aku alami. Bosan dengan hanya menakut-nakuti, aku mengayunkan kapakku lebih tinggi dan lebih bertenaga dari sebelumnya, dan…

 

“Uhuaghh!” darah menyembur dari mulut dan dadanya ketika kapakku menancap di dada kanannya, ia terjatuh. Kuambil kapakku yang masih menancap padanya dengan sedikit dinaik-turunkan karena terjepit tulang rusuknya.

“Sekarang giliran kalian, hehe!” ujarku santai.

“Sialan kau!” mereka menyerbuku bersamaan. Kurasa mereka tak setangguh Go Sung Jin si bocah pesisir sialan itu, buktinya mereka cepat sekali kewalahan dan… tumbang. Entah kenapa mereka mati dengan posisi yang aneh seperti itu, seperti… sepasang gay yang tengah bermesraan, dengan kepala yang menyusup ke leher dari yang lainnya. Ha! kebetulan yang aneh.

“Apa yang akan kita lakukan sayang?” ucapku setelah menyelesaikan ‘pekerjaanku’ pada para siswa. Semua siswi itu menjerit histeris saat aku berbalik dan berjalan kearah mereka dengan senyuman.

“Pergi! Pergi kau! Apa salah kami hingga kau lakukan ini?” jerit salah seorang siswi di sambung dengan tangisan yang lainnya.

“Kau bilang kalian tak bersalah? Haha! Kalian tak bersalah? Ya, benar, kalian tak bersalah. Kalian tak bersalah karena memang kalian selalu benar. Hanya anak yang dianggap terbelakanglah yang selalu salah.” Ucapku dengan penuh rasa perih.

“Apa maksudmu? Anak terbelakang apanya? Kita semua sama!” bela siswi lainnya.

“Diam kau! Kau sama sekali tak tahu apa yang kau bicarakan. Hidupmu terlalu normal, sebaiknya kau kukirim ke keabadian.” Aku bersiap untuk mengayunkan kapakku kearahnya.

“Sungmin-ssi! Hentikan!” teriak seseorang ditengah jeritan siswi-siswi itu, suara yang aku kenal. Ku turunkan kapak yang tengah berada di udara menunggu kuhantamkan ke tubuh gadis didepanku ini. Aku berbalik kearah suara itu.

“Siapa?” tanyaku menutupi ketegangan yang menyergapku.

“Aku bukan Sungmin!” lanjutku.

“Aku tahu itu kau Sungmin-ssi, aku mengenalmu. Kenapa kau lakukan ini?”

“Tahu apa kau mengenai aku?”

“Aku tahu kau anak yang baik, kau tak mungkin melakukan ini.”

“Kalau pun aku anak yang baik, kau tak akan melihat ini.”

“Kenapa kau lakukan ini? Selama ini kau diam.”

“Hah! Semua ini juga salah kalian. Kalian sebut kita sama? Tapi itu tak pernah kurasakan. Kita berbeda. Itu kenyataannya. Kita tak pernah sekali pun bersatu. Kalian seringkali tak menganggapku, bahkan tak menyadari keberadaanku. Itu kejam.”

“Tapi kenapa kau membalas kami dengan cara ini?”

“Karena aku sama sekali tak pernah kalian dengar. Kalian hanya mau mendengarkan si anak populer yang banyak membual dibanding aku. Ini semua salah kalian, bukankah kalian tahu aku sulit bersosialisasi? Kenapa kalian yang diberi kelebihan oleh Tuhan untuk bersosialisasi tidak mencoba untuk membantuku? Kalian tahu, aku sendiri! Kenapa kalian malah memperburuk keadaanku dengan mengacuhkanku? Bukan aku yang ingin jadi seperti ini! Kenapa kalian tak mencoba membantuku?!!” jelasku penuh rasa marah dan kesedihan.

“Maaf! Bukan maksud kami untuk melakukan itu.”

“Sekarang sudah terlambat. Aku terlanjur sakit. Kesendirianku memperburuk keadaanku. Aku…aku tidak tahan dengan beban ini, ini membuatku gila. Kau, kalian, kalianmembuatku gila.” Kududukkan tubuhku di lantai dan kulepaskan kapak yang kugenggam. Ingin rasanya aku mngeluarkan seluruh kebencianku.

“Itu semua karena kau tak mau terbuka!”

“Aku sulit bersosialisasi! Aku takut untuk bersosialisasi! Aku… aku… aku takut terluka lagi. Aku tak bisa melakukannya sendiri, aku butuh bantuan kalian untuk keluar dari lingkaran kesendirian yang menghisapku perlahan ini. Kuharap kalian bisa menolongku, tapi… ternyata kalian sama sekali tidak peduli, ucapan kalian hanya karbondioksida saja, tak berguna.” Aku menunduk, air mataku meleleh dipipiku. Ini pedih.

 

Siswi-siswi itu sudah lebih tenang dari sebelumnya, walaupun suara isakan tangis itu tak hilang. Mereka seperti terkejut, seorang siswa penyendiri yang dicap gay itu dapat berlaku sekeji ini. Ha! Kau tidak bisa mengetahui isi dari buku hanya dari melihat sampulnya kawan! Hidupku kelam, aku sudah lupa dengan kehidupan normalku. Rasanya seperti hidup di dunia yang dingin, gelap, kalaupun terang hanya kelabu tak pernah lebih terang dari itu.

 

Sahabatku pergi dariku karena ia mendapat seorang kawan baru yang lebih dariku. Yah, aku tahu, aku memang orang yang membosankan, orang yang tak punya bakat, orang yang menyebalkan, aku kurang pergaulan, aku minus dibanding dia yang sempurna, dia benar-benar A plus. Kukira persahabatan kami tak akan terpisahkan tapi ternyata, hubungan itu bukan persahabatan sama sekali, itu hanya ikatan pertemanan, tidak lebih. Pengalaman buruk itu membuatku menjadi sosok yang sulit untuk mendapat teman karena bagiku seorang teman haruslah memiliki kesetiaan yang dapat diuji waktu, dan juga membutuhkan waktu lama untuk itu.

 

Aku tak pernah menaruh kepercayaan lebih dari yah… mungkin 10% pada orang lain, bahkan orang tuaku sendiri. Semuanya kutelan sendiri, dan itu membuatku menggila. Ini benar-benar menyiksaku. Aku sering merasa kesepian di keramaian. Aku pernah mencoba untuk berubah tapi saat aku berusaha bersosialisasi, orang yang aku dekati itu sama sekali tak menganggapku, ia lebih memilih untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak berada di sampingnya, ia mengabaikanku. Aku sering mengutuk diri sendiri karena tak berani mengungkapkan apa yang pendapatku. Rasanya tak ada seorang pun yang peduli padaku. Suara-suara kesepian ini merusakku.

 

“Sungmin-ssi!!” jeritan dan rasa sakit di leherku menyadarkanku dari lamunan pedihku.

“Kau… tang…guh Go…Jinwook.” Ucapku kterbata karena rasa sakit dan suplai oksigen ke seluruh tubuhku yang berkurang.

“Jangan lupa, aku GO JINWOOK!” jawabnya yang juga sulit bernafas.

Aku berbalik menatapnya, namun aku aku limbung dan jatuh menyamping. Pisaunya menancap tepat di pembuluh darahku. Pintar. Kulihat ia duduk di hadapanku sembari memegangi luka di dada kanannya.

“Kau melakukan kesalahan Sungmin!” katannya sambil membuka topeng yang kukenakan.

“Jika kau ingin aku cepat mati setidaknya kau harus menancapkan kapakmu itu ke dada kiriku atau ke leherku.” Lanjutnya sembari tertawa.

“Kau…benar. Ku…aku…i ke…salah…anku. Khhkhkhkh… terima…ka…sih kau te…lah mem…be…bas…kanku dari be…ban yang ber…at i…ni.” Dengan senyum, kupejamkan mataku menyambut kebebasan jiwaku yang abadi.

“Maaf telah membuatmu menjadi seperti ini kawan…!” kalimat terakhir yang aku dengar darinya sebelum cahaya putih menyilaukan datang.

 

 

 

—TAMAT—

 

4 thoughts on “[FF Freelance] LONESOME

  1. awwwww umin oppa yang cute jadi jahat disini pembunuh pula , bikin merinding bacanya pembunuhan yang sadis habis melakukan itu lalu dibunuh ya ampun umin oppa . mau saran ya kalo bisa dikasih kata bijak gitu jadi lebih mengena di akhir FF gitu kan disini uminoppa kesepiankan jadi ‘jika menemukan teman baru , teman lama jangan pernah dilupakan’ . alurnya udah bagus penceritaan adegannya juga aku suka #lompat-lompatbarengKyupa , oh iya untuk posternya aku minta maaf kalo misalnya jelek atau tidak pas karena baru belajar. kalo mau tanya-tanya sesuatu bisa ke @phiypind / @mnjfanfiction atau mau komplain tentang posternya silahkan.

    Like

  2. Ah… Terima kasih! Seneng deh! 😀
    Maaf ff nya masih abal. Niatnya bikin pesan yang tersirat, tapi nggak berhasil ya? Baiklah, sarannya akan saya ingat.
    Menurut saya posternya udah bagus kok.
    Sekali lagi terima kasih! 🙂
    *bow bareng Namjoon Oppa

    Like

  3. bagus kok kalo terus nulis pasti bakal berkembang terus kok , berhasil kok aku dapetin yang pas uminoppa bilang kan dia ditinggal sama sahabatnya itu. iya sama-sama ^^ #bow barengsuga

    Like

Leave a reply to VizkyLee Cancel reply