Angst · December Project · FF Project · G · Genre · Length · Rating · Romance · Supranatural · Two Shoot

[A December To Remember] Awake PART 2


Author: LovA & qL^^

Title: Awake

Prompt: But pain is beautiful, it’s same as you

Casts: Yook Sungjae, Lee Hye Soo (OC)

Special appearance: Park Hyeki (OC)

Genre: Angst, Romance, Supernatural

Length: Two shot

Rating: General (G)

Disclaimer: This is work of fan fiction. All mentioned artists belonged to themselves and agencies. No profit is intended. Please, do not copy paste!

Author’s note: Disarankan baca chapter ini sambil membuka chapter sebelumnya karena akhirnya pertanyaan-pertanyaan chapter sebelumnya akan terjawab.

***

Awake

Chapter 2

But pain is beautiful,

It’s same as you ….

“Hyesoo-ya, aku akan pergi sekarang.”

Tangannya refleks menggenggam tanganku. “Jangan pergi,” ucapnya. Nada bicara yang sama, tatapan yang sama dan senyum yang sama pula, meski sedikit redup sejak penyakit menggerogotinya.

Kubalas genggamannya. “Aku pergi untuk kembali, Hyesoo-ya,” ujarku berusaha menenangkannya. “Klien ini penting sekali. Kalau proyek ini berhasil, semua hasilnya adalah untukmu.”

Tatapannya menyayat hatiku. Senyumnya memudar.

“Aku tidak butuh itu,” sahutnya pelan.

Jarum jam terus bergerak. Kalau aku tidak pergi sekarang, maka aku akan terlambat menemui klien itu. Kesempatan satu kali seumur hidup yang tidak bisa kusia-siakan begitu saja. Proyek milyaran juta won hanya demi Hyesoo. Untuk kesembuhannya.

“Kau tahu, ‘kan, aku mencintaimu?” aku bertanya retoris. “Aku akan kembali.”

Perlahan, aku melepaskan genggaman tangan Hyesoo. Ia hanya diam, menatapku dengan tatapan menyayat hati itu lagi. Aku tak luput menyadari bulir air mata mulai membasahi pipi gadis itu. Kukecup keningnya sebelum aku pergi, sekaligus menjanjikan aku akan kembali.

Ya, aku memang kembali.

Tapi semua sudah terlambat.

Proyek itu berhasil kudapatkan, namun seseorang untuk kuhadiahkan telah tiada. Hyesoo pergi dan tidak akan kembali. Meninggalkan penyesalan yang lambat laun bertransformasi menjadi rasa sakit.

Rasa sakit kehilangan Hyesoo.

***

“Itu normal,” dr. Park Hyeki memberitahuku.

“Memunculkan seseorang dalam mimpi?” aku mengulang pertanyaanku.

Dr. Park melepas kacamatanya dan mengusap matanya lelah. “That is your defense mechanism. Your way of coping from losing Hyesoo.”

Aku menghela napas dan menatap tanganku. “Dia bilang dia pergi untuk kembali …” bisikku.

“Anda hanya mengulang kalimat yang ingin Anda dengar saja, Tuan Yook,” dr. Park menggelengkan kepala tak setuju.

Aku sudah pernah menceritakan pada sesi terapi sebelum ini tentang apa yang terjadi saat terakhir kali aku bersama Hyesoo. Janjiku pergi untuk kembali. Menurut dr. Park, percakapan yang terjadi dalam mimpiku adalah refleksi percakapan yang terjadi antara aku dan Hyesoo sebelum dia benar-benar meninggalkanku. Aku tidak punya pilihan lain selain percaya pada psikiaterku ini.

“Apa mimpi itu menganggu?” tanyanya lagi.

Jawabanku hanya gelengan. Tidak, tidak pernah sekalipun aku menganggap mimpi itu menganggu. Aku masih menyimpan rasa sakit karena kehilangan Hyesoo, tapi aku bersyukur pada rasa sakit yang terus menerus membangkitkan kenanganku tentangnya.

“Meskipun tidak menganggu, tenggelam dalam mimpi bukan hal yang baik. Akan saya resepkan obat tidur untuk Anda,” dokter itu menuliskan sesuatu pada kertas resep kemudian menyerahkan padaku. “Cobalah untuk tidak hidup dalam kesunyian, Tuan Yook. You have to move on,” tambahnya lagi.

Aku hanya mengangguk.

Obat itu tidak pernah kubeli di apotik.

Karena aku tahu obat itu akan membuatku tidur tanpa mimpi.

***

Sesi terapi berikutnya, dr. Park Hyeki hanya menatapku prihatin dari balik rekam medik yang sedang dibacanya.

“Berat badan turun, tekanan darah rendah, kadar Hb juga rendah. Lingkaran hitam di bawah mata. Anda bahkan kehilangan promosi pekerjaan,” ia menatapku menyelidik. “Anda tidak minum obat tidurnya, ‘kan?”

Aku hanya bungkam. Enggan menjawab agar ia tidak banyak bertanya.

Dr. Park menghela napas. “Anda tidak bisa terus-menerus seperti ini, Tuan Yook. Anda tidak seharusnya merasa nyaman karena rasa sakit kehilangan Hyesoo. Anda akan semakin terperangkap pada perasaan itu dan semakin sulit melepaskannya. Anda harus bangun,” ia menjelaskan.

Aku tahu itu. The pain keeps my love for her.

“Saya akan menawarkan sesuatu pada Anda,” akhirnya dr. Park berkata.

Alisku terangkat.

“Saya akan menukar seluruh rasa sakit Anda,” katanya lagi.

“Dengan?”

Kalimat yang selanjutnya kudengar justru membuatku mempertanyakan kewarasan dokter jiwa itu. “Satu minggu bersama Hyesoo.”

Aku tertawa meski tak ada yang lucu. “Tentu saja saya bersedia, Dok,” jawabku dengan nada sarkasme, mengejek tawaran tak masuk akal barusan.

Dr. Park hanya tersenyum tipis. Makna senyum yang tidak kumengerti artinya. Ia kembali meresepkan obat tidur padaku meski lagi-lagi tidak akan kubeli. Aku meninggalkan ruang konsultasi dan melupakan segala ucapan dr. Park.

Sampai Hyesoo tiba-tiba kembali.

***

Pelukanku pada Hyesoo tadi pagi nyata adanya. Wangi tubuhnya, rasa tubuhnya dalam pelukanku dan suaranya memarahiku karena bersikap aneh. Juga senyum khas Hyesoo yang akhirnya bisa kulihat kembali. Seperti ada yang menekan tombol reset yang mendadak mengembalikan Hyesoo padaku.

Aku bersyukur, tentu saja. Namun seolah ada yang menggelitik pikiranku. Bertanya-tanya apakah ini nyata? Ataukah …

Sial!

Tanpa buang waktu, aku menuju rumah sakit. Berlari tanpa memperhatikan tatapan orang-orang padaku menuju ruang konsultasi dr. Park. Anehnya, aku tidak menemukan dr. Park Hyeki di sana. Bahkan aku tidak bisa menemukan ruangannya.

“Tidak ada yang namanya dr. Park Hyeki di Hankuk, Tuan Yook Sungjae,” Nona bagian informasi memberitahuku.

“Tidak mungkin!” pekikku tak percaya. “Saya pasiennya dan dia dokter spesialis kesehatan jiwa di sini. Coba diperiksa lagi, mungkin Anda terlewat.”

Tapi Nona bagian informasi terlanjur tersinggung. “Saya paham sekali seluk beluk informasi rumah sakit kami, Tuan,” tukasnya dengan  nada final, menatapku tak suka. “Jika tidak ada lagi yang bisa saya bantu, saya sarankan Anda menyingkir karena banyak yang membutuhkan informasi dari saya.”

Otakku menolak memproses informasi aneh ini. Hyesoo yang tiba-tiba muncul dan dr. Park yang tiba-tiba menghilang. Aneh sekali.

Tapi tidak ada yang bisa kulakukan.

Aku bertekad akan memanfaatkan situasi ini dengan sebaik-baiknya.

***

Sialnya, aku hampir saja mengecewakan Hyesoo lagi saat terlambat pulang untuk makan malam. Setelah itu, aku memutuskan akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Hyesoo. Termasuk, melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan bersama. Dulu semua itu sulit dilakukan, entah karena aku terlalu sibuk atau kesehatan Hyesoo yang tidak mendukung.

Hyesoo sekarang terlihat berbeda. Wajahnya berseri-seri dan ia tidak pernah terlihat kesakitan. Senyumnya cerah. Penyakit yang merenggutnya dariku seolah sirna.

Aku tidak pernah mengungkit-ungkit mengenai ‘masa lalu’. Hyesoo juga tidak pernah membicarakan hal itu. Kami menikmati waktu bersama dan mengabadikannya. Dalam bentuk foto atau catatan tak terhingga pada notes Hyesoo.

“Kau benar-benar tidak bisa berpisah dari notes itu, ya,” kataku.

Hyesoo terlalu sibuk menulis untuk menoleh. “Aku, ‘kan, sudah pernah bilang. Suatu saat foto dan notes ini akan jadi pengingat.”

Tanganku menangkup wajahnya. “Jangan bicara seolah-olah kau mau pergi.”

Senyum Hyesoo berubah sendu. “Kepergianku tidak boleh menjadi sesuatu yang kautakuti,” katanya lembut, menggengam tanganku di pipinya. “Kau tidak ingin terjebak dalam siklus kehidupan penuh ketakutan, ‘kan?”

Aku menggeleng pelan. Sepi, sunyi, kosong, hampa, sendiri. Masa-masa yang tidak ingin kuulang meski dalam memori.

“Lepaskan, Sungjae,” ucap Hyesoo pelan, lalu mencium pipiku. “Ah, kau ini, sih, suka sekali bicara aneh-aneh. Aku jadi melankolis begini, ‘kan?” gerutunya menghapus bulir air mata yang telah terkumpul di sudut matanya.

Aku tertawa geli melihat tingkahnya.

“Sungjae-ah, bagaimana kalau besok kita piknik di belakang bukit?” tawar Hyesoo dengan mata berbinar-binar.

Mana rela aku menolaknya jika sudah berekspresi seperti itu.

Diam-diam aku melirik kalender.

Jika ini benar kesepakatan dengan dr. Park, waktu satu mingguku bersama Hyesoo hampir habis.

***

“Nado saranghae, Yook Sungjae.”

Kalimat itu seolah dibisikkan angin ke dalam indera pendengaranku.

Aku menyelipkan album kecil ke dalam rak abu Hyesoo. Album itu berisi foto-fotoku yang terpotret sendiri di saat seharusnya ada Hyesoo bersamaku saat kami menghabiskan waktu bersama selama seminggu. Aku masih menyimpan notes Hyesoo. Tulisan tangannya meninggalkan jejak pada lembar putih kertas. Setelah itu, kuletakkan bunga di depan rak abunya.

“You don’t feel pain anymore.”

Suara itu membuatku berbalik. Dr. Park Hyeki atau siapa pun itu berdiri di belakangku padahal seingatku sejak tadi hanya aku sendiri yang ada di ruangan itu.

“I don’t dream anymore either,” sahutku santai.

Kali ini aku memahami makna senyum dr. Park. Sebuah senyum bangga.

“You quite proud of it,” ujarku.

Senyum dr. Park bertambah lebar. “Hyesoo is the one who must be proud,” sahutnya. “Dia percaya kau akan melepaskan rasa sakit itu. Sebaliknya, aku justru meragukanmu.”

Aku mengangkat bahu. Tidak banyak bedanya mengetahui hal itu sekarang, meski rasa percaya Hyesoo padaku entah mengapa membuatku merasa hangat.

Tapi, tunggu, aku tetap merasa penasaran.

“Jadi, sebenarnya kau ini apa?” tanyaku.

Dr. Park tersenyum misterius. “Anggap saja aku bagian kecil keajaiban dalam hidupmu.”

Aku menoleh pada foto Hyesoo yang tersenyum di rak abu dan ketika aku menoleh kembali, sosok dr. Park sudah menghilang. Ada kalanya, rasa sakit itu indah, seperti ketika rasa itu memberiku satu kesempatan singkat untuk bertemu dengan dirinya.

Ini akhirnya. Ini rasa terbangun yang sebenar-benarnya.

Goodbye, Love.

*Fin.*

Notes from qL^^:

A bit shorter than usual for twoshot, but this is the best I can do. Desember emang bulan yang pas untuk menulis kisah-kisah angst romansa seperti ini dan tentu saja, aku tidak bisa menahan diri untuk menambahkan bumbu-bumbu supernatural di dalamnya. Semoga kalian suka, ya! Dan thanks LovA sudah mau diajak kolab buat proyek ini, hehe. Give her applause!

Don’t forget to review!

Notes from LovA:

Like I said before, jangan lupa berikan cinta kalian buat qL^^ yaa~ ff kolab ini selamat berkat tulisannya. And I’ll always be your admirer, qL^^ xoxo

Waiting for your review, guys! Thanks.

 

 

7 thoughts on “[A December To Remember] Awake PART 2

  1. P.s maafkan saya yang teledor. Karena kmren malam saya bacanya Dan ngepost komen dengan begitu teledornya #plakk. qL maafkeun daku :””)

    Jadi sungjaenya dikasih kesempatan seminggu buat ketemu hyesoo itu? Ini alurnya flashback trs maju gt? sbnernya aku rada bngung sama plotnya. Hehe mungkin kalo dikasih perbedaan pas flashback di buat miring tulisannya ato gmn, mungkin akan lbh bagus. Tapi aku suka ide ceritanya. Mas sungjae jangan sedih ya, ada aku kok/? Lmao—qL and lovA jangan bosen2 ikut project MNJ yes anyway Sora’s here!

    Liked by 1 person

    1. Hahaha salah satu tantangannya kolab adalah karena yg awal sudah nulis plotnya, yg akhir mau ga mau harus improve untuk menyesuaikan.

      Nggak sih, ini emang niatnya aku mau memblurkan batas antara nyata dan tidak. Jadi alur di chapter 2 itu saling terkait sama chapter 1. Gtu deh, maap bikin bingung.

      Makasih ya Sora reviewnya, hehe.
      Jangan lupa ajak2 kita juga kalau MNJ bikin event lagi hehe.

      Like

      1. Iya emang kesulitan collab sperti itu hehe I know that really well 😉 haha engga, mungkin akunya aja yang rada ogeeb T.T siap! Nnti aku ajak kalian lagi 😉 or maybe we should make a collaboration one day hihi

        Like

    2. Huhu maafkan. Berhubung karena part satu ditulis oleh aku yang masih newbie ini 😦 jadinya yaa begitulah. qL^^ jadi berusaha lebih keras untuk bisa buat ff ini ga failed hiks T.T

      Anyway thanks sora untuk reviewnya yaa~ ajak kita lagi ya untuk event MNJ lainnya 🙂 xoxo

      Like

Leave a comment