Angst · AU · Comfort · December Project · Drama · FF Project · Friendship · Genre · Hurt · Length · One Shoot · Rating · School Life · Teen

[A December To Remember] Library Guy


LIBRARY GUY

.

AU!, Angst, Drama, Friendship, Hurt-comfort, School-life, Teen || Oneshot || T

.

Starring Pentagon’s Hongseok, You as Chloe Kim

.

“I will remember your laugh, I will place that smile in my heart.”

.

© 2016 by Gxchoxpie

.

I only own the plot

.

==  HAPPY READING ==

.

.

.

“Jeogiyo ….”

Guncangan di bahu itu sebenarnya tak terlalu keras, tetapi sukses membangunkanku yang memang belum benar-benar terlelap. Sebentar. Membangunkan? Heol. Memangnya, sudah berapa lama aku tertidur di sini?

“Kurang lebih tiga puluh menit.” Ia tahu-tahu berceletuk. Ups, sepertinya tanpa sadar aku mengucapkan apa yang kupikirkan.

“Kau tidur sangat nyenyak. Kelihatannya kau kelelahan. Aku tadinya ingin membiarkanmu, tetapi mendengarmu mendengkur membuatku memutuskan untuk membangunkanmu. Asal kau tahu, sebentar lagi saja kubiarkan, mungkin dengkuranmu akan memenuhi setiap sudut perpustakaan ini.”

Aku melayangkan tangan ke mulut, lalu mengerjap. Astaga, separah itukah dengkuranku? Nampaknya aku memang sudah betul-betul terlelap. Menyadarinya, kutundukkan kepala, malu.

“Terima kasih karena telah membangunkanku,” gumamku. Tadinya ingin kutambahkan nama panggilannya, tetapi aku tidak tahu siapa nama dari sosok lelaki manis yang kini duduk di hadapanku. Aku memiringkan kepala sedikit, berharap dengan gestur itu ia tahu bahwa aku menanyakan namanya.

“Hongseok,” celetuknya lagi. “Namaku Yang Hongseok.”

Oh, sepertinya kontak batin kami terhubung!

Kutarik sudut-sudut bibir ke atas, berusaha mengukir senyum seramah dan semanis yang aku bisa. “Aku Chloe. Kim Chloe. Dan, sekali lagi, terima kasih telah membangunkanku, Hongseok-ssi.”

“Bukan masalah.” Ia mengibaskan tangannya. “Lagipula aku harus menyelamatkan ensiklopedia yang ada di hadapanmu itu.”

Aku melirik ensiklopedia sejarah hard cover 350 halaman yang terbuka di depanku, dan baru ingat bahwa tugasku sebenarnya ke perpustakaan adalah mencari bahan presentasi mengenai perang dunia dua. Ya ampun, bagaimana bisa aku malah tertidur?

Sebenarnya patut dimaklumi, sih. Siapa pula yang tahan membaca banyak tulisan dengan ukuran kecil-kecil yang membuat mata sakit?

“Ensiklopedia itu termasuk aset berharga perpustakaan ini.” Hongseok kembali mulai dengan celetukannya.

Aku hanya mengangguk. “Oh, ya?”

Yep. Kau tak tahu? Ini salah satu ensiklopedia termahal di Seoul.” Ia menatapku lekat-lekat. “Kau pasti murid baru, ya?”

BINGO!

“Ya, aku baru saja pindah kemarin,” sahutku.

“Ah, pantas.” Ia mengangguk. “Anyway, kau harus berterima kasih untuk kedua kalinya padaku. Kalau aku tak membangunkanmu, sebentar lagi ensiklopedia mahal itu akan terendam air liurmu, dan kau akan mendapat masalah besar.”

Ingin rasanya kulempar ia dengan kotak pensil koalaku. Demi seluruh alat tulis ungu milik Changgu, teman sebangkuku di sekolah lama, siapa pun yang mendengar deskripsi Hongseok mengenai gaya tidurku sejak tadi akan berpikir bahwa aku adalah gadis tanpa sisi feminin. Heol.

“Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan di sini?” Aku bertanya, sebenarnya dengan maksud mengganti topik pembicaraan, sebelum pemuda bernama Hongseok ini kembali berceloteh tentang gaya tidurku atau semacamnya. “Kau mencoba membolos? Bukankah sekarang masih jam pelajaran?”

Ia menggelengkan kepala dengan tenang. Ekspresi wajahnya tak terlihat takut atau merasa bersalah. “Tidak. Aku berada di sini sebagai asisten perpustakaan.”

“Asisten perpustakaan?”

Yap! Kau tahu, siswa yang mengembalikan buku ke rak yang seharusnya, melihat apakah ada sampul buku yang rusak, menyusun buku sesuai urutan nomor serinya, seperti itu.” Ia kemudian tersenyum. “Ah, aku hampir lupa. Kau, kan, murid baru.”

Aku menganggukkan kepala perlahan. “Kau pasti pemuda yang amat menyukai buku.”

“Tepat sekali!” jawabnya dengan semangat. “Hobiku adalah membaca. Bagiku, tak ada hal yang lebih menyenangkan dari duduk di pojok perpustakaan sendirian dan ditemani oleh sebuah buku. Makin tebal, makin menarik.” Ia kemudian menatapku. “Apa kau juga berpikir demikian?”

Bola kepalaku menggeleng. “Tidak. Buku selalu membuatku tertidur.”

Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah kurva yang manis pada ranumnya. “Suatu hari akan kuajarkan bagaimana cara membaca yang benar agar sama sekali tak terasa menjemukan.”

Untuk kedua kalinya aku menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Terima kasih. Kau hanya menghabiskan waktumu, Hongseok-ssi. Penilaianku terhadap buku tak akan berubah. Lagipula, aku tak mau sampai harus mengenakan kacamata tebal sepertimu.”

Pemuda itu menggerakkan bingkai kacamata hitamnya ke atas dan ke bawah sejenak. “Tapi aku tetap terlihat tampan, kan?”

“Tsk.

Tadinya aku ingin membalas frasa percaya dirinya yang berlebihan itu dengan lelucon lainnya yang kuharapkan dapat membuatnya kalah telak. Tetapi kuurungkan niat begitu tak sengaja melirik waktu di jam tangan digital-ku. Sepuluh menit tersisa sebelum waktu pengumpulan tugas. Sial. Padahal aku bisa dibilang belum menyelesaikan apapun akibat tertidur. Maka dari itu, setelah mengucapkan permintaan maaf karena harus mengabaikan Hongseok sementara waktu, aku kembali membuka lembar demi lembar ensiklopedia – oh, dengan hati-hati tentunya, mengingat perkataan Hongseok bahwa ini adalah salah satu ensiklopedia termahal di Seoul –, menggali setiap informasi yang bisa kutemukan.

Oh, tidak bisa begini. Mataku kerap ingin menutup rasanya. Entah mengapa bagiku buku seakan mempunyai mantra tidur yang selalu membuatku mengantuk. Kukerjapkan mata beberapa kali. Nihil. Kantuk terus saja menyerangku.

Saat itulah aku sadar bahwa sejak tadi Hongseok tak jua beranjak dari hadapanku, malah menatapku seolah penuh minat.

Jengah terus-menerus diperhatikan, kuletakkan pensil di atas meja, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan menyilangkan tangan di depan dada. Kutatap maniknya tajam. “Kau tak akan pergi?” tanyaku tanpa basa-basi.

Ia menggeleng. “Seseorang harus menjagamu di sini, nona, agar kau jangan sampai ketiduran.”

Sial. Tapi, ada benarnya juga.

Walau aku tak yakin dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya pada awalnya, tetapi Hongseok benar-benar tetap di tempat duduknya saat aku kembali mengerjakan tugas. Dan untukku, yah, bisa dibilang presensi Hongseok ada untungnya juga. Entah bagaimana tetapi rasa kantukku terasa hilang, tidak menyerangku lagi. Dan somehow, dengan sepuluh menit terburu-buru itu, tugasku akhirnya selesai juga.

***

Sepertinya, kalau syarat untuk mendapatkan penghargaan siswa teladan adalah menjadi pengunjung perpustakaan paling setia, aku yakin Yang Hongseok akan menjadi pemenang. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari aku melihatnya ada di perpustakaan, atau baru keluar dari perpustakaan, atau sedang menuju perpustakaan. Bukan, bukan berarti hampir setiap hari pula aku mengunjungi perpustakaan makanya aku tahu semua itu. Perpustakaan menjadi bagian dari list tempat yang paling kubenci. Hanya, tak jarang ketika aku melewati perpustakaan, aku mendengar suaranya menyapa. Atau dari kejauhan aku melihatnya melambaikan tangan, dengan sebelah tangan lagi menggendong beberapa buku tebal.

Berbeda denganku yang menghindari perpustakaan, bagi Hongseok perpustakaan adalah rumah keduanya.

“Banyak membaca itu menambah pengetahuanmu, Chloe-ya,” ujarnya suatu hari. “Selain itu daya imajinasimu juga dibangun.”

Saat demikian pun aku masih bisa membantah perkataannya. “Informasi dapat digali lewat internet. Kau tak tahu Google? Di Google, kau tinggal mengetik informasi yang kau butuhkan, dan segudang website yang berhubungan akan ditawarkan. Daripada bersusah payah mencari informasi di perpustakaan dengan hasil yang tak pasti.”

“Selain itu, apa katamu tadi? Imajinasi?” lanjutku. “Bukankah lebih baik kau melihat rupanya langsung ketika menonton film-nya dibandingkan mengira-ngiranya dalam otakmu, dan ternyata apa yang kau bayangkan dengan yang dimaksud sang penulis itu salah?”

Ia bungkam, hanya tangannya yang cekatan bergerak menyusun buku-buku di rak. Kuanggap kebisuannya itu sebagai tanda kekalahannya.

Pernah lagi suatu hari aku diminta kawan-kawan sekelompokku untuk mencarikan bahan makalah sosiologi di perpustakaan. Sebenarnya kami sudah punya cadangan bahan berupa artikel yang kami unduh dari internet, tetapi karena guru kami meminta minimal ada dua buku yang dicantumkan sebagai bahan, maka akulah yang diminta untuk mencari.

Beberapa buku yang secara acak kuambil ada di tanganku. Setelah merasa cukup banyak, aku menyortirnya terlebih dahulu. Bukan dengan melihat isinya, melainkan hanya dengan membaca judulnya.

“Kembalikan buku ke raknya semula, ahgassi.”

Sebuah suara tiba-tiba mengusik gendang telingaku. Sempat terkejut sejenak, lalu aku menolehkan kepala, hanya untuk mendapati Hongseok yang sedang menyusun buku yang sempat kupisahkan di rak. Astaga, sejak kapan ia ada di sini?

“Sejak dua menit yang lalu. Mengamatimu yang sembarangan memilah buku dan berniat meninggalkannya di meja begitu saja tanpa pertanggungjawaban,” celetuknya.

Ups, sepertinya aku kembali tanpa sadar mengatakan apa yang kupikirkan. Dan, tampaknya ia bisa membaca pikiranku. Heol.

Sebuah ide jenaka muncul di benakku. Kelihatannya, mengerjai seorang anak teladan adalah hal yang menyenangkan.

“Justru itu. Kalau aku dan teman-teman lain mengembalikan semua buku kembali ke raknya semula, apa tugasmu kalau begitu sebagai asisten perpustakaan?” ucapku diiringin senyum jahil. “Bukankah justru kau harus berterima kasih pada kami yang memberi pekerjaan padamu?”

Matanya melotot padaku, serta bibirnya bergerak mengisyaratkan kekesalannya. Aku tertawa, puas rasanya mengerjai Hongseok. Ketika ia bergerak seolah akan mengejarku, aku cepat-cepat berlari – tentunya tak lupa membawa buku yang hendak kupinjam di tangan. Untuk sejenak terlupakan olehku peraturan bahwa di perpustakaan kita tidak boleh berisik. Aku berlari sambil tertawa menuju meja peminjaman buku. Sesampainya di sana, kulihat ia berhenti. Tawaku makin keras, puas. Tampaknya ia tak berani macam-macam sekarang karena di hadapanku ada guru penjaga perpustakaan.

Sebagai sentuhan terakhir, kuleletkan lidah padanya.

“Kamu berisik sekali,” ujar guru di hadapanku, walau dengan wajah yang menghadap buku ketika menuliskan sesuatu. Sepertinya tanggal pengembalian buku. “Lagipula, siapa yang kau ajak bercanda, tadi? Kau sedang tertawa dengan siapa?”

“Dengan dia, Bu,” jawabku sambil menunjuk ke belakang. Tetapi ketika aku menoleh ke belakang, sosok Hongseok sudah tidak ada. Dan aku terlihat tolol dengan menunjuk pintu perpustakaan.

Perlahan, kuturunkan tangan, lalu kuambil buku pinjamanku. Setelah menggumamkan terima kasih pada sang guru, aku melangkahkan tungkai keluar dari perpustakaan. Mukaku sepertinya merah padam, malu.

Yang Hongseok, awas saja kau, berani-beraninya menghilang dan membuatku malu di depan guru penjaga perpustakaan.

***

Ketika Hongseok bilang ia akan merubah cara pandangku terhadap buku, tampaknya ia tak main-main dengan perkataannya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mewawancaraiku. Ia tidak menanyakan tipe buku apa yang aku suka, karena sepertinya ia sudah tahu aku akan menjawab bahwa aku tidak menyukai buku. Tetapi yang ia tanyakan adalah tipe film seperti apa yang aku suka. Aku menyukai beberapa film komedi, romansa, persahabatan, sedikit fantasi juga boleh. Berdasarkan itu, Hongseok merekomendasikan beberapa bacaan padaku. Bermula dari bacaan tipis, beserta dengan tenggatnya. Tak hanya itu, sebagai bukti aku sudah membacanya, ia memintaku untuk menjadi story teller. Menceritakan ulang cerita yang kubaca.

Sebal memang pada awalnya akan kegiatan membaca intensif yang secara sepihak dilaksanakan ini. Namun, siapa sangka, ternyata kegiatan ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Kian lama bacaanku kian tebal. Aku yang selama ini menghabiskan waktu dengan hanya tidur-tiduran di rumah, mulai beralih ke sesuatu yang lebih positif; membaca.

Dan, benar. Pandanganku akan buku perlahan diubahkan. Buku bukan lagi musuhku. Membaca tak lagi menjadi aktivitas yang menjemukan.

Karena penasaran, pernah suatu hari aku bertanya apa yang membuatnya begitu mencintai buku. Ternyata sebuah pertanyaan singkat itu membawaku kepada cerita tentang keluarga Hongseok. Cerita yang tak singkat tapi tak terlalu panjang, namun cukup membuatku terharu.

“Ibu dan ayahku meninggal dunia karena kecelakaan pesawat ketika aku masih duduk di bangku kelas enam SD,” ujarnya memulai kisah. “Sejak itu aku hanya tinggal berdua dengan nenekku. Sanak saudaraku yang lain tidak mau aku tinggal di rumah mereka. Entahlah, mungkin mereka menganggap aku sebagai beban tambahan. Tetapi, sesuatu yang masih bisa disyukuri, mereka masih mau bersama-sama menanggung biaya hidupku.”

“Saat itu aku begitu down. Teman-temanku memang mengucapkan bela sungkawa, tetapi aku terlalu sensitif dan bersikap seolah-olah aku menolak penghiburan mereka. Maksud mereka baik, memberiku kekuatan, tetapi entah mengapa aku menutup diriku. Aku beranggapan bahwa seberapa pun mereka peduli akan diriku, mereka tak akan mengerti perasaanku sepenuhnya. Melalui itulah, perlahan aku kehilangan teman-temanku. Dan lama-kelamaan, aku kesepian.”

“Dalam situasi seperti itulah, buku menjadi pelarianku. Saat aku membaca buku, kesedihanku berkurang. Aku tak lagi memikirkan masalah yang sedang melandaku. Daya imajinasiku mengambil alih, membuat aku lebih penasaran akan akhir cerita dibandingkan dengan kegalauanku. Itulah awalnya aku bisa bersahabat dengan buku,” tutupnya mengakhiri cerita.

Aku tersenyum, seraya sebuah perasaan takjub terbersit di batin. Tak menyangka cerita ini akan keluar dari bibir seorang Yang Hongseok yang tampaknya selalu ceria.

“Omong-omong tentang kecelakaan, aku jadi teringat ayahku,” celetukku.

Ia menaikkan bingkai kacamatanya sejenak sebelum menyahut, “Ayahmu? Ayahmu kenapa?”

“Dua bulan yang lalu beliau mengalami kecelakaan.” Meski Hongseok tak meminta, namun sepertinya kali ini gantian aku yang akan berkisah. “Beliau baik-baik saja sekarang. Sudah dapat beraktivitas seperti biasa. Hanya saja, jika teringat akan kejadiannya, aku akan sangat sedih. Masih terbayang jelas perasaanku ketika mendengar bahwa ayah kecelakaan, dan apa yang kurasakan ketika melihatnya terbaring di rumah sakit, dengan kepala diperban dan leher di-gips. Rasanya memilukan.”

“Dua bulan yang lalu?” balas Hongseok. “Kecelakaan beruntun yang melibatkan taksi, sepeda motor, dan sebuah mobil itu? Yang katanya disebabkan oleh pengemudi taksi yang mabuk, lalu menabrak sebuah mobil dengan keras dan membuat sepeda motor di hadapannya ikut terpelanting?”

Kedua manikku membulat. “Dari mana kau mengetahuinya?”

“Aku berada di sana saat itu,” jawabnya.”

“Ah ….” Aku mengangguk.

Ia menyunggingkan senyum tipis. “Setidaknya, bersyukurlah karena ayahmu masih bisa hidup.”

Aku ingin bertanya lebih lanjut mengenai maksud dari kata-katanya, tetapi bel yang menandakan istirahat usai lebih dulu berbunyi, memaksaku mengurungkan niat. Meski kecewa, toh aku harus kembali ke kelasku. Jadi, kuucapkan selamat tinggal kepadanya, berjanji akan bercengkrama lagi dengannya di lain waktu, lalu kulangkahkan tungkai keluar dari perpustakaan, menuju ke kelas.

***

Suatu hari, aku sedang berjalan menuju kelas sehabis buang air kecil di toilet, tiba-tiba sebuah kertas yang mungkin terbawa angin terjatuh dekat kakiku. Aku mengulurkan tangan, meraihnya. Bersamaan dengan itu, terdengar seruan seorang gadis yang sepertinya ditujukan padaku.

“Hei! Bisa kau bawa itu kemari?”

Setengah berlari aku menghampirinya, lalu menyerahkan lembaran kertas itu pada gadis ber-pony tail tersebut. Tak hanya itu, melihatnya kerepotan harus menahan beberapa lembar kertas sambil menempel kertas lainnya di papan pengumuman dengan isolasi membuatku tergerak untuk menolongnya.

“Kubantu, ya!” ucapku, sambil memotong isolasi dari tape dispenser.

“Ah, terima kasih,” balasnya.

Sambil jemariku menempelkan satu demi satu potongan isolasi di setiap ujung kertas, mataku iseng membaca pengumuman yang sedang kutempel. Isinya tentang dibutuhkannya asisten untuk perpustakaan.

“Dicari, asisten perpustakaan?” tanyaku memastikan. Kemudian aku teringat akan pemuda kacamata bingkai hitam yang selama ini gemar menjejaliku dengan buku. “Bukankah sudah ada Yang Hongseok di sana?”

“Yang Hongseok?” Gadis itu menghentikan aktivitasnya menempel untuk sejenak, kemudian menatapku. “Bukankah Hongseok masih terbaring koma di rumah sakit?”

WHAT?!

“Oh, kau murid baru itu, ya?” Gadis itu melanjutkan. “Pantas kau tak tahu.”

Tidak … tidak mungkin.

Yang Hongseok, pemilik senyum manis itu, perhatiannya akan krisis minatku terhadap membaca, kepeduliannya yang mengubah cara pandangku terhadap buku …

Jadi, selama ini, yang kutemui itu siapa?

Gadis di hadapanku masih berceloteh, tetapi tak ada satu kalimatnya yang masuk ke telingaku. Suara-suara di sekitarku seakan membisu. Seluruh oksigen yang ada di sekitarku seolah dihisap, membuat dadaku terasa sesak. Kepalaku pening, punggungku terasa lemas, dan tungkaiku bagai tak mampu menahan beban tubuhku.

Kuucapkan selamat tinggal pada gadis itu, serta permintaan maaf karena tak bisa membantunya lebih lanjut. Setelah itu aku berlari secepat yang kubisa menuju perpustakaan – entah dari mana kekuatanku berasal, mengingat beberapa saat yang lalu aku bahkan harus menyandarkan diri pada dinding terdekat agar tak sampai jatuh terduduk di lantai. Sesampainya di perpustakaan, kuedarkan pandangan, mencari sosok Hongseok. Kutelurusi setiap lorong perpustakaan, tetapi hasilnya nihil.

Perasaan pilu makin menghimpitku. Benarkah selama ini Hongseok hanya ilusiku semata?

Tampaknya tidak.

Napas legaku otomatis terhembus begitu melihat sosoknya di ujung lorong terakhir, sisi paling pojok dari perpustakaan. Ia berdiri membelakangiku, dengan sebuah buku cukup tebal di tangan.

“Hongseok-ah ….” Aku mencoba memanggil namanya.

Sosok itu berbalik, lalu menatapku. Meski ia tersenyum, tetapi sorot kesedihan jelas terpancar dari bola matanya.

“Hongseok-ah, apa maksud dari – “

Ia memotong perkataanku. “Kau sudah tahu semuanya?”

Aku menundukkan kepala, lalu mengangguk. Setetes likuid bening lolos dari pelupuk mataku tanpa bisa kucegah, diikuti tetesan demi tetesan berikutnya. Tak tahan, aku pun terisak, meski kucoba sekuat tenaga menyembunyikan suara isakanku dengan menutup mulut menggunakan tangan.

Hongseok maju selangkah. Tangannya terulur, menghapus kristal bening yang menuruni pipiku. Tatapannya lembut dan hangat. Senyumnya masih setia terukir di wajahnya.

“Jangan menangis,” ujarnya. “Tak ada hal yang perlu kau tangisi.”

Percuma. Meski ia memintaku untuk berhenti terisak, tetap saja kesedihanku tak terbendung rasanya.

Ia meraih sebelah tanganku, kemudian meletakkan buku yang ada dalam genggaman tangannya di telapak tanganku. “Baca ini,” ujarnya. “Buku ini mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, terutama segala sesuatu tentang pertemuan dan perpisahan.”

Aku tak sempat berkata apa-apa. Sebenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan dan kuucapkan padanya, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Sejuta kalimat berkecamuk di benakku, tetapi semuanya hanya tertahan di lidah, tak sanggup kukeluarkan.

Hongseok mengulurkan tangannya untuk mengacak poniku sekilas. Kupejamkan mata, menikmati sentuhannya. Sentuhan yang entah kapan bisa kurasakan kembali – demikian kata firasatku.

“Chloe-ya ….” Hongseok berujar dengan suara baritonnya. “Senang bisa mengenalmu.”

“Aku juga,” balasku serak, penuh emosi.

Setelah kuucapkan dua kata itu, sosoknya perlahan memudar, lalu menghilang, entah kenapa.

Lima detik kemudian, yang ada di hadapanku hanyalah rak buku dengan puluhan bacaan berjejer.

“Hongseok-ah … “ ujarku.

Kembali air mataku menetes, tak menyangka ia akan meninggalkanku secepat ini. Perlahan, semua momen kami bersama terputar kembali di benakku layaknya sebuah film. Pertemuan pertama kami, ceramahnya mengenai pentingnya membaca, senyumnya, tawa khasnya, kepeduliannya, semuanya. Dan itu membuat hatiku tambah perih, dadaku makin sesak.

***

Menurut informasi yang kudapatkan dari teman sekelasku, Hongseok adalah murid kelas sebelah. Ia memang terkenal rajin dan cukup cerdas, meski tak pernah mampu masuk ke jajaran tiga besar kelas. Dan memang, Hongseok adalah murid yang paling rajin mengunjungi perpustakaan. Hal itu diakui oleh teman-teman seangkatan dan juga guru-guru.

Dua bulan yang lalu, ia menjadi korban dari sebuah kecelakaan beruntun. Kecelakaan yang sama yang dialami oleh ayahku. Sementara ayahku terlempar dari motor, Hongseok adalah korban yang berada di mobil yang sempat terhimpit beberapa saat sebelum berhasil di keluarkan. Ia memang sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi sejak hari itu, ia belum tersadar dari komanya.

Beberapa temanku bahkan sempat mengantarku ke rumah sakit tempat Hongseok dirawat pada sore harinya. Melihat sosoknya yang terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan berbagai peralatan medis di sekelilingnya membuat hatiku pilu. Tabung oksigen, alat pemantau detak jantung, selang infus, dan berbagai peralatan lain yang aku tak tahu namanya, tetapi aku paham itu amat penting. Seolah hidup dan mati Hongseok bergantung pada seluruh peralatan tersebut.

Tanpa bisa kucegah isakanku kembali keluar. Kembali di benakku terbayang sosok Hongseok yang ceria, yang dengan senyum lebar merekomendasikan buku-buku menarik untuk dibaca. Berbanding jauh dengan Hongseok yang kulihat sekarang, yang hanya bisa terbaring dengan mata terpejam, hidup bergantung pada belas kasihan dari Yang Di Atas.

“Hongseok-ah … bangun … “ ujarku, walau sangsi ia akan mendengar.

Kualihkan atensi pada monitor alat pendeteksi detak jantung. Meski tak terlalu paham mengenai peralatan rumah sakit, tetapi manikku terpaku pada grafik warna hijau dan kuning yang tertera di layar. Detak jantung Hongseok masih ada, tetapi lemah. Selaksa doa kuucapkan dalam hati, berharap bahwa Hongseok diberi satu kesempatan lagi untuk menikmati dunia.

Hongseok-ah, aku akan mengingatmu. Aku tak akan melupakan tawamu, dan aku akan menyimpan senyummu dalam hatiku.

***

Tiga bulan kemudian …

 

Aku menguntai langkah menuju meja peminjaman buku perpustakaan, dengan manik yang sedang mengamati cover depan novel yang kupinjam. Hyera berkata bahwa novel Light in the City ini memiliki alur cerita yang menarik. Sisi romantic serta persahabatannya sangat terasa, dilatarbelakangi kehidupan anak sekolah Jepang pada umumnya. Penjelasannya membuatku tertarik, dan itulah mengapa aku memutuskan untuk meminjamnya dari perpustakaan.

Jemariku membuka halaman demi halaman sekilas, membolak-balik buku depan ke belakang, mengamati sampul depannya yang bergambar sepasang kekasih dengan seragam sekolah, sedang mengendarai sepeda di padang rumput berbunga. Setelah itu, kubaca sinopsis singkat buku tersebut yang tertera di sampul belakang.

BRUKK!

Tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Bersamaan dengan itu, terdengar suara beberapa buku terjatuh ke lantai. Spontan aku mengucapkan maaf, bahkan ikut berjongkok untuk membantunya mengambil buku yang berjatuhan.

Kedua tangan kami bertemu ketika sama-sama hendak mengambil ensklopedia tubuh manusia yang ada di dekat kaki meja. Kemudian wajah kami sama-sama terangkat, dan kami saling menatap untuk beberapa saat.

Wajah itu …

Kacamata bingkai hitam itu …

Tatapan itu …

“Hongseok?” ujarku terlebih dahulu memecah keheningan.

Ia memiringkan kepalanya sejenak. “Kau … mengenalku?”

Bibirku seketika terkatup rapat. Oh, ya. Aku lupa kalau sebenarnya aku belum pernah bertemu sosok Hongseok yang sebenarnya. Hongseok yang selama ini bersamaku adalah –

“Maafkan, sejak kecelakaan beberapa bulan yang lalu, ingatanku agak terganggu.” Ia tersenyum canggung. Diulurkannya tangan kanan ke arahku. “Aku Yang Hongseok. Aku tak tahu kau sudah mengenalku atau belum, tetapi izinkan aku berkenalan denganmu sekali lagi. Dan, mohon bantuannya.”

Aku membalas uluran tangannya. “Chloe. Namaku Chloe.”

“Ah …. Salam kenal kalau begitu.”

Ne.”

Kami berdua terdiam beberapa saat. Entah mengapa rasanya menjadi canggung. Untuk sesaat, aku merindukan berbagai percakapan yang terjalin di antara kami dulu.

Menyadari waktu istirahat siang yang hampir habis, aku bermaksud melanjutkan langkahku menuju meja peminjaman buku. Tetapi kalimat yang Hongseok ucapkan berikutnya membuatku terpaku.

“Kau tahu, Chloe-ssi? Kau mirip dengan gadis yang kutemui dalam mimpiku.”

-fin-

14 thoughts on “[A December To Remember] Library Guy

  1. Waaaaahhhhhhhh baguuusss!!!
    Ini kali pertama aku baca FF yang castnya member PENTAGON hehehe
    Pemilihan kata dan penulisannya superb!!! Trus endingnya ituloh…. langsung mencelos hati rasanya:”)
    Keep it up! XOXO

    Liked by 1 person

  2. Annyeong Gxchoxpie salam kenal vizky imnida

    “Ah, pantas.” Ia mengangguk. “Anyway, kau harus berterima kasih untuk kedua kalinya padaku. Kalau aku tak membangunkanmu, sebentar lagi ensiklopedia mahal itu akan terendam air liurmu, dan kau akan mendapat masalah besar.”

    Aku ngebayangin wajah menyebalkan hongseok pas dia bilang kata-kata diatas ke Chloe, benar-benar menggambarkan hongseok pas masih trainer di YG.

    habis baca yang lucu-lucu akibat percakapan mereka berdua, tiba-tiba ikut sedih pas tau ternyat hongseok masih koma.
    berarti chloe bertemu sama arwahnya hongseok.

    bener-bener menarik ceritanya ini, walaupun panjang gak bikin bosen.

    aku member pentagon cuman tau hongseok aja, terima kasih sudah membawakan FF dengan cast Hongseok pentagon

    good job

    Like

    1. Hai kak vizky… Salam kenal juga sebelumnya 😄
      Wahahahahha… Bayangin dia ngomong gitu dengan ekspresi yang demikian ya kak hahha

      Wahaa.. Makasih kak pujiannya… Hehehe akhir2nya agak bkin baper ya kak? 😄
      Makasih sudah baca ya kaakk

      Like

  3. Haloo!! Sora’s here 😉 bntar deh aku bngung mau panggil km apa sbnernya. Hongseokk!! I miss him so much since he left YG. Ini bneran murip banget sm kepribadian Hongseok hahaha. Ceritanya bagus ih, aku kira ini bakal berakhir sad dimana hongseok uda meninggal. Pas baca dia koma, ah mati dia, eh tenyata engga. Dan hak yang mengena pas dia blg “kau mirip dg gadis yg ada di mimpimu.” Itu sesuatu banget. Hahaha. Anyway makasi banyak uda mau menyemoatkan diri buat memeriahkan ultah MNJ yes! 😉

    Like

    1. panggil Gece aja kak hahahah it’s my real name…
      jujur aku ga ngikutin M&M sih kak jadi ndak tahu yang hongseok pas di YG itu kek apa sebenarnya… hahahaha but it’s a relieve to hear that I can bring up his character here 😀
      ndak kok kak ndak sad ending kok hahahaha…
      makasih ya kak utk pujiannya, utk great eventnya juga.. dan makasih sudah mau baca ficku yang panjang ini XD

      Liked by 1 person

      1. Oh brrti km tau Hongseok sewaktu dia di Pentagon eh acara yg cube itu apa? Wah—you should watch M&M like really lmao—he was lacking at first but I miss his voice so much sewaktu dia nyanyi eyes, nose lips. Eh aku mnta maaf komen sblmnya bnyk banget typonya Hihihi. Oh ya, Gece, dalam kenal ya 😉

        Like

      2. tepatnya setelah debut pentagon sih baru tahu kak hahahaha XD cuma acara yg pentagon maker itu nonton juga akhirnya, setelah sepuluh org itu debut…
        dan, yesh, pernah denger lagu itu pas iseng nyari2 di youtube kak enak banget iiihh… sama pas dia nyanyi let it go yang barengan2 itu loh aku juga suka… hahhaha…
        salam kenal juga kak 😀

        Like

      3. Oh aku kira kamu ikutin acara sblm dia debut di Pentagon hehe. Karna entah aku pgen liat. Iya iya, enak. Hongseok smakin mmbaik tiap perform nya

        Like

  4. OMG!!!!
    Heyho gxchoxpie!
    Superb!!! I love how you execute the prompt daaaan ini manisss bgt dan bahasanya enak dibaca dan pas penjaga nanya kamu ngomong siapa itu aku baru ngeh sampe baca genre lagi ‘angst drama’ waahh trs mulai penasaran ini bakal lanjut kek gimana. And super nice, manisnya dapet, ada lucunya, sedihnya pun nyampe! Dan thanks bgt krn kamu bikin ini happy ending 😊😊😊
    Honour to be able this kind of story, keep writing ya!

    Like

Leave a comment