Action · Genre · Hurt · Length · PG · Rating · Romance · Two Shoot

[Project Man In Love ] An Angel Chapter 1


tsara-a-man-in-love-1

Title: An Angel (A Man in Love)

Author: ts_sora

Cast: Infinite’s Kim Sung Gyu, T-Ara’s Park Ji Yeon

Genre: Action, Hurt, Romance

Length: Twoshoot

Rating: Adult

Dislaimer: This belongs to me, and the casts belong to their entertainment company. No plagiarism juseyoi

A/N : A Man in Love, apa yang ada dipikiran author tentang seorang pria yang jatuh cinta?  He will give everything for his love. Ini adalah fanfiction dengan genre action pertama saya, mungkin sedikit absurd dari pembawaan crita juga alurnya, maka dari itu, dimohon koreksi, kritik juga saran untuk kedepannya ya 🙂 mungkin ini jauh berbeda dari Kim Sung Gyu yg asli, cracked couple, tapi dimohon jangan membashing satu sama lain 😀  Enjoy it!

——————————————————————————————————-

 

Kegoncangan politik yang terjadi di Seoul akhir-akhir ini, disebabkan oleh para petinggi yang ingin saling berkuasa. Maraknya pembunuhan atas beberapa petinggi juga orang penting lainnya yang terjadi pada beberapa tahun terakhir merupakan salah satu bentuk persaingan tidak sehat tersebut. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal ini, diduga memiliki hubungan terkait. Pembunuh keji dengan sosok begitu familiar. Sosok pembunuh dingin yang entah memiliki aura tersendiri saat ia datang. Sosok pencabut nyawa bak seorang malaikat tanpa dosa yang selalu melaksanakan aksinya dengan baik. Sosok yang terkenal akibat sebuah kalung salib bersayap yang ia kenakan Sosok malaikat dari kegelapan. Mereka menyebut laki-laki itu, Angel.

.

.

.

“Detektif Lee, kami mendapatkan info terbaru tentang ‘Angel’, salah satu petugas polisi mengatakan ia melihat sosok dia saat ini,”

“Apa? Dimana?” tanya laki-laki dengan sedikit gusar berjalan menuju laki-laki yang masih sibuk dengan layar monitor yang ada di hadapannya juga beberapa button keyboard yang kini ia mainkan. Ia terlihat mendengarkan sesuatu dengan benda yang kini ada di telinganya sejak beberapa jam yang lalu. Ia lantas mengangguk.

“Dia terlihat di sebuah Chapel satu jam yang lalu, seseorang melapor terdengar suara tembakan disana. Sepertinya ia akan membunuh target selanjutnya,”

“Apa kau bisa cari tahu, siapa saja yang tengah berada di sana saat ini?”

“Baik,”

Laki-laki yang masih sibuk menarikan jemarinya mengangguk cepat. Ia menatap layar monitor begitu serius sebelum akhirnya beberapa gambar muncul bergantian di layar tersebut dan sebuah nama juga terlihat di sana. Mereka berdua terlihat mengembangkan pupil masing-masing sebelum akhirnya mereka berpandangan dengan wajah gusar mereka, saat dua buah gambar terbaru yang terlihat familiar.

“Pernikahan antar kedua anak mafia terbesar pada dua negara? Kita harus kesana sekarang!” ucap laki-laki bernama Lee Ho Won tersebut yang dengan segera mengambil mantel miliknya yang diikuti beberapa petugas kepolisian yang lainnya.

“T-tunggu,”

Lee Ho Won menghentikan kakinya diikuti beberapa rekan kerjanya. Ia lantas menatap laki-laki yang masih bergelut dengan komputer miliknya. Wajahnya nampak tegang.

Angel baru saja menghilang. Ia telah membunuh setidaknya belasan orang yang ada di sana dan kini ia membawa serta anak perempuan mafia Seoul,”

Kim Sung Gyu sedikit terengah saat secara perlahan ia membuka kedua kelopak matanya. Ia merintih sesaat setidaknya sesuatu yang berada pada sisi kanan perutnya terasa perih. Ah benar, sebuah peluru hampir saja menembus tubuhnya jika saja ia tak menghindar sekian detik saat peluru tersebut diluncurkan.

Kim Sung Gyu sedikit terperanjat saat setidaknya sebagian dari tubuhnya memang hanya tertutupi dengan sehelai selimut. Dengan separuh kesakitan, dirinya semakin terperanjat akan seorang gadis yang tertidur dekat ranjangnya saat ini.

“Kau sudah bangun?” ucap gadis itu yang terbangun akibat Sung Gyu. Gadis itu lantas mengusap kedua matanya pelan sebelum akhirnya ia tersenyum lembut. Ya, gadis dengan rambut bewarna cokelat almond itu kini tak mengenakan gaun putih sebagaimana mereka bertemu kemarin. Ya, sebuah gaun putih mengekor saat gadis itu masih berada di altar dengan seorang laki-laki lain, sebelum akhirnya peristiwa itu terjadi.

Kim Sung Gyu melompat dari ranjangnya hingga gemerincing kalung yang ia kenakan terdengar keras. Ia lalu menuju tumpukan pakaian miliknya dan mengambil sebuah GPS di sana, ponsel miliknya dan apapun miliknya yang dapat memancarkan sinyal saat ini. Laki-laki itu lantas menonaktifkan semua miliknya, bahkan itu tak cukup, ia lantas melemparnya dan lantas menghancurkannya.

“Ada apa? K-kenapa kau menghancurkan semuanya?

“Dimana? Dimana ponselmu? Atau…berikan apapun yang kau miliki saat ini,”

“U-untuk apa?”

“Kubilang cepat!” pekik laki-laki itu itu terlihat terburu. Laki-laki yang kini bertelanjang dada tersebut lantas mengernyit saat rasa sakit kembali ia rasakan. Saat tubuhnya akan tumbang, gadis itu lantas menopangnya. Suara gemerincing sekali terdengar, namun kali ini kalung berbentuk salib dengan sepasang sayap tersebut menarik perhatian gadis itu.

“Kau harus beristirahat,”

Kim Sung Gyu menepis tangan gadis itu dari tubuhnya saat gadis itu berusaha menolongnya. Ia lantas membuang tubuhnya pada sofa tak jauh darinya. Konyol. Benar, ini konyol. Tepat beberapa hari yang lalu, ia diberikan sebuah misi sama seperti misi-misi sebelumnya. Sebuah misi yang akan diperebutkan puluhan atau mungkin ratusan pembunuh bayaran untuk menuntaskan perintah atasan mereka. Jika mereka berhasil menyelesaikannya, maka mereka akan diberikan hadiah yang cukup besar atasnya. Dan gadis itu adalah salah satu bagian dari misinya. Membunuh gadis itu adalah misinya.

Namun apa yang kini ia lakukan? Sudah berhari-hari ia melakukan pengintaian demi membunuh gadis itu. Gadis pewaris utama keluarga mafia terbesar di Seoul yang mana akan melangsungkan pernikahannya dengan salah satu anak petinggi utama Yakuza. Tapi bodohnya ia malah tak membunuhnya. Ia malah berusaha melindunginya saat beberapa rivalnya secara bersamaan menyerang gadis itu dengan senjata mereka. Ia lantas melindunginya dan bodohnya ia terluka saat ini karenanya.

“Kau baik-baik saja?”

“Menyingkir dariku,”

Gadis membuang nafasnya kalah. Gadis itu lalu beranjak dengan sebuah kotak P3K pada salah satu tangannya. Ia membuang nafasnya pelan. Ia menatap kedua tangannya yang entah kenapa masih terlihat bergetar saat ini, namun ia berusaha untuk menutupinya dari laki-laki itu. Laki-laki misterius bak seorang malaikat pelindung yang melindunginya saat itu. Jujur ia takut, tapi ia tak mungkin meninggalkan laki-laki itu terluka karenanya.

Gadis itu lantas mencoba menaikkan ujung bibirnya, membujuk dirinya agar terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

“Kau lapar? aku akan membuatkanmu sesuatu, jika kau mau.”

Kim Sung Gyu menatap gadis yang kini berada di hadapannya tengah sibuk dengan beberapa bahan masakan miliknya. Ia tak pernah berpikir bahwa bahan makanan yang entah sejak kapan berada di lemari pendinginnya dapat diolah oleh gadis itu.

“Makanlah. Hanya ini yang bisa aku buatkan untukmu,” ucap gadis itu yang lantas meletakkan dua buah telur mata sapi. Kim Sung Gyu masih terdiam, tak ada respon yang berarti pada raut wajahnya. Namun kedua matanya masih sedari tadi menatap apa yang dikenakan gadis itu saat ini. Memang gadis itu tidak mengenakan gaun pengantin yang telah bercampur dengan darah seperti kemarin, setidaknya kini gadis itu tengah mengenakan sebuah blouse bermotif bunga yang dulu seseorang pernah kenakan. Kim Sung Gyu menahan nafasnya saat ini, ia lantas menatap sebuah kamar yang kini telah terbuka lebar, padahal ia tak pernah membiarkan pintu itu terbuka sebelumnya.

“Dimana kau menemukan pakaian itu?” Nada laki-laki itu berubah kali ini

“I-itu…”

Kim Sung Gyu lantas beranjak pergi pada salah satu bilik rumahnya dan dengan cepat ia lantas melemparkan sehelai sweater bewarna abu-abu miliknya tepat di atas meja.

“Gantilah pakaianmu,”

“T-tapi i-ini–”

“Kubilang ganti pakaianmu!” teriak laki-laki itu kali ini. Park Ji Yeon terperanjat ketakutan hanya menundukkan kepalanya sebelum akhirnya ia berjalan menuju bilik lain demi mengganti pakaiannya saat ini sedangkan laki-laki itu hanya menatap langkah kecil tersebut pergi darinya sebelum akhirnya ia mengeluarkan nafasnya panjang.

Kali ini apa yang ia harus lakukan. Ia tahu bahwa saat ini keberadaan gadis itu dalam bahaya, begitu juga dirinya. Mungkin kini mereka berada pada bilik rumahnya, sebuah bilik rumah yang memang berada cukup tersembunyi, namun yakinlah, mereka tak aman saat ini.

“Makanlah, aku harap kau menyukainya,” ucap gadis itu yang entah sejak kapan berada di seberangnya dan bersiap untuk menyantap makanannya.

“Park Ji Yeon imnida dan kau?”

“Kau sebaiknya tak tahu siapa diriku,”

Park Ji Yeon menggigit bibir bawahnya. Ia tertunduk untuk kesekian kalinya. Ia tak tahu apa yang membuat laki-laki itu menolongnya untuk lari saat di hari pernikahannya saat itu. Ia tak tahu apa alasannya, meski kini laki-laki itu lebih terlihat membenci dirinya yang bahkan ia tak tahu apa alasannya.

“Apa kau memiliki seorang adik perempuan?”

Kim Sung Gyu menghentikan aksinya untuk menyantap sarapan miliknya dalam sekejap saat kalimat tersebut dilontarkan. Namun sekian detik kemudian, laki-laki itu tak mengindahkannya.

“Kamar yang indah. Dimana dia sekarang? Apa dia sedang sekolah-”

“Jika kau bertanya sekali lagi, aku tak segan untuk mengusirmu,” ucap Sung Gyu yang kembali melahap makanannya, namun tiba-tiba saja ia mendongakkan wajahnya dan menatap tajam ke arah gadis yang kini berada di seberangnya. Ji Yeon yang mengetahui hal tersebut lantas terdiam.

“A-ada apa–” Kim Sung Gyu membungkam mulut gadis itu dengan salah satu tangannya cepat. Park Ji Yeon sempat memberontak akan adanya hal itu, namun Kim Sung Gyu masih tak mau membukanya. Matanya menatap liar ke arah sekitar, lebih terlihat seperti mata yang waspada.

Dengan tiba-tiba suara pecahan kaca pada salah satu bingkai jendela bilik rumahnya begitu saja terdengar. Park Ji Yeon yang sempat ingin berteriak, namun tertahan oleh telapak masih tertahan saat ini. Kim Sung Gyu lantas menarik gadis itu menjauh dari ruang makan dan membawanya pada salah satu sisi teraman rumah miliknya. Kim Sung Gyu memberi aba-aba untuk gadis itu berada di sana, sedangkan dirinya membalik meja makan dengan begitu kasar, demi melindungi gadis itu saat ini, yang mana hal ini membuat sarapan pagi mereka harus rela terbuang sia-sia.

Suara lesatan peluru kedua kini kembali terdengar dan kali ini melewati bingkai jendela yang lain hingga kaca dari bingkai tersebut kembali menjadi beberapa kepingan. Dengan sigap Kim Sung Gyu lantas berlari menuju dapurnya, membuka laci-laci dapurnya dan membuangnya begitu saja saat barang yang ia butuhkan tak ada. Ia kembali mengerang saat ia tahu salah satu peluru hampir saja mengenai dirinya. Ia membuka kasar laci yang masih tengah terkunci hingga laci tersebut benar-benar terlepas dan ya, sebuah pistol tangan dengan seri terlama kini berada pada salah satu tangannya.

Ia masih memberi aba-aba pada Ji Yeon yang kini tengah bersembunyi pada tameng yang baru saja ia buat tadi agar tidak membuat suara apapun. Kim Sung Gyu lalu berjalan mengendap pada salah satu sisi dinding, sekedar melihat siapa yang kini menyerangnya saat ini.

“Shit!”

Kim Sung Gyu tahu bahwa dirinya kalah telak. Ia seorang diri dengan pistol tangan miliknya, sedangkan di luar sana ada sekitar belasan orang yang kini tengah bersiap untuk menyerangnya sekali lagi. Setidaknya rival-rivalnya kini memutuskan bekerja sama demi membunuh dirinya hingga mereka dapat secara berlomba mendapatkan hadiah dengan cara membunuh gadis itu saat ini. Benar, ini adalah salah satu akibat jika ia menyelamatkan target misinya. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat.

Tapi tidak, ia bukan seorang yang mudah menyerah. Ia berjalan menuju dapurnya sekali lagi, dengan sebilah pisau yang ia dapatkan tak jauh darinya dan lantas memotong selang gas miliknya, hingga ia yakin bilik rumahnya penuh dengan gas membahayakan tersebut. Ia tak bisa membiarkan satupun peluru melesat kembali ke dalam biliknya saat ini, karena ia tak mungkin selamat nantinya.

Ji Yeon beranjak dari tempatnya saat laki-laki itu kembali menarik salah satu lengannya untuk segera pergi melewati pintu belakang rumah tersebut. Ji Yeon memacu kakinya lebih cepat dari yang ia bisa, saat laju laki-laki itu benar tak bisa diremehkan. Beberapa semak ia lewati saat ini, demi menghilang dari beberapa orang yang kini berusaha membunuh mereka. Dan beberapa menit kemudian, suara ledakan yang begitu mendengungkan kedua telinganya terdengar begitu keras. Benar, laki-laki itu berhasil membuat perangkap untuk orang-orang tersebut namun kini ia benar kehilangan tempat tinggalnya.

Laki-laki itu lantas menghentikan langkahnya saat ia tahu jika itu adalah suara ledakan yang berasal dari rumahnya. Ia melepaskan genggaman tangan Ji Yeon dan lantas terperangah menatap kebulan asap juga warna merah menyala api dari kejauhan. Laki-laki itu masih terdiam di sana cukup lama. Tak ada kalimat yang ia katakan sejak saat itu. Hanya matanya yang nanar dan sedikit basah yang kini dapat Ji Yeon lihat begitu jelas.

Dan di sinilah Park Ji Yeon berada saat ini, sebuah kamar motel yang bahkan ia tak tahu pasti dimana. Motel yang bahkan tak dapat dikatakan sebuah motel. Motel yang bahkan hanya ada dirinya juga laki-laki yang bahkan tak mengatakan apapun sampai saat ini. Laki-laki itu masih saja memandang bingkai jendela yang sengaja ia buka sejak mereka datang di sana. Park Ji Yeon tidak mengetahui pasti dimana mereka berada saat ini. Yang ia tahu, motel ini merupakan milik salah satu teman laki-laki yang bahkan sampai saat ini, ia tak tahu namanya.

Sebuah kamar motel yang memiliki dua ranjang merupakan tempat tinggal sementara untuknya juga laki-laki itu. Tak banyak yang dikatakan laki-laki itu, ia hanya memberi isyarat padanya untuk mandi dan mengganti pakaian yang bahkan ia tak tahu milik siapa. Lebih tepatnya, ia nampak seperti korban penculikan yang diacuhkan, namun perbedaannya, laki-laki itu yang terlihat melindunginya hingga sampai saat ini.

Park Ji Yeon dapat melihat perban pada salah satu sisi perut laki-laki itu kembali basah oleh darah. Benar, laki-laki itu masih belum benar-benar sembuh, dan kini salah satu tangan laki-laki itu juga terluka. Park Ji Yeon melipat handuk yang ia genggam dan berusaha memberanikan diri untuk mendekat perlahan menuju laki-laki itu. Dengan hati-hati ia mendekatkan handuk tersebut pada luka laki-laki tersebut demi menghentikan pendarahannya. Laki-laki itu lantas membiarkan apa yang dilakukan Park Ji Yeon sejenak padanya sebelum akhirnya ia mendorong tubuh gadis itu hingga menabrak dinding.

Kim Sung Gyu menahan tubuh Ji Yeon dengan salah satu lengannya dan sebelah tangannya yang lain tengah menodongkan pistol miliknya tepat di wajah gadis itu. Park Ji Yeon hendak berteriak, namun kekuatan lengan laki-laki itu menahan tenggorokannya.

“Apa kau tidak tahu siapa aku? Aku seorang pembunuh, aku yang akan membunuhmu! Kau seharusnya mati, sehingga aku tidak kehilangan segalanya!” pekik laki-laki itu keras. Ia menatap tajam kedua mata Ji Yeon yang sekiranya mulai kehilangan nafasnya. Ya, ia harus membunuhnya, sekarang juga, dengan begitu misinya terselesaikan dan orang diluar sana tak akan memburunya. Jika saja ia membunuh gadis itu lebih awal, jika saja–ia tak akan kehilangan rumahnya. Rumah yang terlampau sederhana. Rumah yang menyimpan banyak kenangan. Kenangan tentang gadis itu.

“Ukh–”

Park Ji Yeon dengan separuh tangannya mencoba melepaskan lengan laki-laki itu, namun usahanya berulang gagal. Nafasnya hanya sampai pada pangkal tenggorokannya kini dan ia yakin mungkin ini akhir dari hayatnya.

Kim Sung Gyu menatap Ji Yeon yang mulai perlahan kehilangan kesadarannya, selama itulah ia tak ingin menatap kedua mata sendu gadis itu. Mata sendu yang dulu pernah ia lihat sebelumnya, mata sendu yang sempat dimiliki seseorang dulunya, mata sendu yang sempat ingin membuatnya menghabiskan sisa hidupnya dengan orang tersebut.

“Oppa. . tolong aku,”

Kim Sung Gyu menggelengkan kepalanya berulang sebelum dengan cepat menarik lengannya saat ini. Dan benar saja Park Ji Yeon berhasil diselamatkan. Gadis itu terlihat terbatuk , mencoba mengumpulkan udara untuk paru-parunya. Wajahnya memerah tidak karuhan, dan suara batuknya terdengar sangat menyedihkan saat ini.

Sekali lagi, kiranya Kim Sung Gyu tidak bisa membunuh gadis itu untuk kesekian kalinya. Laki-laki itu lantas membuang pistol yang ada di tangannya asal, dengan nafas setengah tersengal ia menjatuhkan tubuhnya pada ranjang. Ia melihat Park Ji Yeon kesakitan di sana dan membiarkannya menderita. Ia menutup kedua telinganya sesaat suara isakan gadis itu mulai terdengar kali ini.

Tidak Sung Gyu, dia bukan dirinya.

“Oppa, kau tidak suka dengan kimbap-nya?”

“Oppa…oppa…”

“Oppa, kumohon jangan pergi,”

“Oppa, tolong aku,”

Kim Sung Gyu menggelengkan kepalanya berulang saat suara itu lagi yang kali ini dengar. Suara yang bahkan sejak dahulu telah lama ia tak dengar, kiranya kembali terngiang. Kim Sung Gyu menatap gadis yang tengah terlelap pada salah satu ranjang yang berada tak jauh dengan ranjangnya saat ini. Gadis berkulit pucat dengan noda basah pada kedua matanya masih tertidur saat ini.

Kim Sung Gyu beranjak dari ranjangnya. Ia membuka tirai jendela kamar dimana ia berada saat ini. Setidaknya matahari sudah benar tinggi saat ini, dan gadis itu masih saja terlelap.

Kim Sung Gyu berjalan menuju pintu depan saat sekiranya seseorang baru saja dengan sengaja mengetuk pintu tersebut. Seorang laki-laki berwajah ramah kini berdiri di hadapannya.

“Apa dia sudah bangun?”

Kim Sung Gyu lantas memandang sekali lagi gadis yang masih berselimutkan kain bewarna pudar di sana. Rupanya gadis itu masih belum membuka matanya.

“Apa kau serius akan membawanya pergi?”

Kim Sung Gyu menyeringai tipis. Benar, perbincangan panjang keduanya semalam, telah membuatnya berpikir panjang. Setidaknya gadis itu tak bisa bersamanya selamanya, atau kalau tidak ia harus melihat gadis itu cepat atau lambat akan mati meski bukan di tangannya.

“Kau tak bisa membunuhnya karena kau teringat pada Jae Na, apa aku benar?”

“Sudahlah. Aku akan membangunkannya untukmu,” ucap Sung Gyu yang kali ini benar-benar berlalu. Laki-laki itu lantas berjalan menuju gadis yang masih terlelap dan lantas menggoyang tubuh gadis itu pelan, hingga gadis itu akhirnya benar-benar membuka matanya. Mengetahui bahwa Kim Sung Gyu berada di hadapannya, gadis itu lantas mendudukkan dirinya dan membuat dirinya lebih jauh dari laki-laki itu saat ini.

Benar, ia tak akan tahu apa yang laki-laki itu lakukan saat ini, mengingat semalam ia hampir saja terbunuh oleh laki-laki itu. Ia bersumpah, jika saja itu benar terjadi, ia bisa benar-benar mati. Gadis itu menatap Sung Gyu dalam diam, namun matanya yang masih saja terlihat basah akibat air matanya semalam, menatap Sung Gyu panik dan penuh waspada.

“Halo,”

Park Ji Yeon semakin tercekat saat laki-laki lain berjalan masuk ke dalam kamar tersebut seraya melambaikan salah satu tangannya. Laki-laki yang terlihat lebih ramah tersebut mencoba mengembangkan senyumnya saat jarak keduanya cukup dekat saat ini.

“Aku Nam Woo Hyun. Aku pemilik motel ini, dan kau?”

Park Ji Yeon masih mengunci bibirnya. Ia masih membawa selimut yang ia gunakan sebagai tameng miliknya, meski terkesan sangat tak berguna. Salah satu sisi bibirnya yang berdarah, sempat membuat Woo Hyun terdiam sejenak. Luka legam pada leher gadis itu pun, juga sempat membuat Woo Hyun mereda senyumnya. Entah apa yang dilakukan Sung Gyu tadi malam, hingga membuat gadis itu benar ketakutan.

“P-park Ji Yeon, i-imnida,”

Nam Woo Hyun tersenyum tipis saat sekiranya gadis itu benar tidak kehilangan suaranya akibat apa yang dilakukan Sung Gyu pada gadis itu sebelumnya, meski gadis itu enggan menatapnya.

Kim Sung Gyu meletakkan sebuah tas di atas ranjang gadis itu sedikit kasar, dan ia lantas meletakkan secarik kertas juga pena di sana. Ia menatap gadis itu yang juga menatapnya dengan tatapan takut bercampur bingung.

“Tuliskan dimana alamatmu. Woo Hyun akan mengantarmu sampai rumah, meski tak sampai rumah, paling tidak kau bisa pulang,” ucap Sung Gyu yang masih sibuk dengan beberapa benda yang ia masukkan ke dalam tas tersebut.

“P-pulang?”

“Iya, pulang. Kau adalah anak tunggal dari salah satu petinggi mafia terbesar di Seoul, bukan? Paling tidak kau bisa aman di sana,”

“T-tidak, aku tidak mau,”

Kim Sung Gyu menghentikan aksinya dan lantas menatap gadis itu, sama halnya dengan Sung Gyu, Woo Hyun memandang gadis itu bingung.

“Aku tidak mau pulang. Sungguh,”

“Tapi, kau akan mati terbunuh jika kau tetap berada dekatnya, Nona,” ucap Woo Hyun meyakinkan. Namun dengan tegas Ji Yeon menggelengkan kepalanya keras. Sebuah penolakan yang besar kiranya.

“Bodoh, kau ingin mati di tangan orang-orang yang kini memburumu? Atau kau ingin mati di tanganku?” ucap Sung Gyu yang lantas meletakkan tas pada salah satu tangannya dan sebelah tangan yang lainnya menarik lengan gadis itu guna beranjak dari ranjangnya, namun gadis itu meronta.

“T-tidak, kumohon. Aku tidak ingin pergi,”

Namun kekuatan Sung Gyu tak perlu diragukan lagi, ia masih sigap menarik lengan gadis itu meski gadis itu meronta dengan sangat hebat.

“W-woo Hyun ssi, kumohon. Ku mohon, kumohon! Aku tidak mau pulang. Kumohon!” ucap Park Ji Yeon yang kembali terisak. Entah kali ini apa yang membuat gadis itu benar-benar ketakutan setengah mati. Park Ji Yeon lantas mencoba melepaskan genggam tangan Sung Gyu padanya, sesekali ia menatap Woo Hyun yang berada di belakangnya. Kali ini ia benar bersungguh-sungguh.

Kim Sung Gyu merasa kalah saat ini. Ia melepaskan genggaman tangan gadis itu dan membiarkan gadis itu berlari menuju balik punggung Woo Hyun saat ini. Gadis itu masih terisak di sana.

“Aku akan melakukan apapun untuk kalian, tapi–kumohon. Kumohon jangan bawa aku ke sana, kumohon jangan pulangkan aku. Aku mohon,” ucap Park Ji Yeon terbata di dalam isaknya saat ini. Woo Hyun menatap Sung Gyu yang sedari tadi hanya memandangi gadis itu yang kini berada di balik punggungnya. Woo Hyun lantas menggelengkan kepalanya. Hal tersebut disusul oleh helaan nafas Sung Gyu yang terdengar begitu berat.

Entahlah apa yang membuat gadis itu tak ingin pulang, namun hal yang paling jelas kini ia tak bisa membuat gadis itu pulang. Setidaknya bebannya lebih berat saat ini.

Park Ji Yeon memacu kakinya lebih cepat dari sebelumnya. Salah satu tangannya menggenggam erat sebuah kantung plastik. Ia menggenggam erat kantung plastic tersebut agar isinya tidak berurai saat ia berlari saat ini. Park Ji Yeon menatap liar jalanan yang ada di hadapannya, berharap sesuatu atau seseorang dapat melindunginya saat ini. Ia lantas berlari menuju pada salah satu celah antar dua gedung yang berada tak jauh darinya. Celah sebagai salah satu jarak antar gedung dengan yang lainnya kini menjadi satu-satunya harapan untuknya. Park Ji Yeon menyandarkan tubuhnya lebih dalam, agar beberapa pria bertuxedo yang tengah mengejarnya tidak menemukan kehadirannya saat ini.

Bodoh. Ia tahu ia sangat bodoh karena memberanikan diri untuk keluar dari motel seorang diri tanpa laki-laki pembunuh itu ataupun dengan temannya saat ini. Namun ayolah, ia tak mengira bahwa akan seperti ini jadinya. Dan sungguh motel yang hanya berjarak berpuluh meter saja sudah dapat ia jangkau saat ini, namun sayang pria-pria itu akan menemukannya. Ia tahu bahwa Sung Gyu mungkin akan memarahinya habis-habisan atau akan mencekiknya sama seperti saat itu jika ia tahu tentang apa yang tengah ia lakukan saat ini.

Park Ji Yeon mencoba mengatur nafasnya yang sempat tersengal tadi. Ia menahan nafasnya saat sekiranya beberapa pria baru saja berjalan melewatinya. Benar, pria yang mengenakan tuxedo tersebut merupakan orang suruhan ayahnya. Ia tahu itu. Ia tahu dari simbol yang ada pada salah satu sisi tuxedo yang mereka kenakan. Tapi, bagaimana mereka dapat menemukannya sejauh ini?

“Hmph!”

Park Ji Yeon meronta tidak karuhan saat sebuah telapak tangan yang cukup besar berhasil membungkamnya dengan cukup kasar dan menariknya pergi.

“Sstt, nona ini aku Woo Hyun,” ucap laki-laki itu yang lantas membuka bungkamannya. Ia lantas menatap sekelilingnya waspada sebelum akhirnya ia menatap Park Ji Yeon saat ini. Ia lalu tersenyum tipis.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya setengah berbisik. Park Ji Yeon yang merasa bersalah saat ini hanya mengangguk lemas.

“Maafkan aku, aku tidak–”

Nam Woo Hyun menggeleng pelan.

“Kita akan membicarakannya sesampai di motel nanti,”

Park Ji Yeon menatap Nam Woo Hyun yang berusaha menutup semua tirai jendela kamar yang kini mereka tempati. Park Ji Yeon tahu, jika saja ia tidak pergi tanpa izin, Woo Hyun tak akan melakukan ini semua saat ini.

Benar, entah ini hari keberapa dimana Ji Yeon harus meninggali kamar tersebut. Beberapa hari atau mungkin beberapa minggu lamanya. Kim Sung Gyu tak memperbolehkan dirinya untuk keluar ataupun sekedar membuka tirai kamarnya. Ia tahu apa maksudnya. Ia tahu bahwa laki-laki itu tak ingin Ji Yeon ditemukan. Tapi ia akui, ia bosan berada di dalamnya.

“Apa yang kau beli dari luar nona?”

Park Ji Yeon menyerahkan kantung plastik yang ia genggam dan mengeluarkan isinya tepat di atas meja. Nam Woo Hyun yang sempat terkejut dengan apa yang ia lihat, lantas mengembangkan senyumnya. Benar, beberapa obat baru saja gadis itu keluarkan dari kantung tersebut.

“Aku tahu kau menghawatirkan dirinya. Tapi kau tak seharusnya keluar dari motel ini,” ucap laki-laki itu terdengar ramah. Park Ji Yeon menundukkan kepalanya. Ia akui ia sangat bodoh karena meninggalkan motel sendiri. Motel yang bahkan diragukan ini. Motel yang bahkan tak memiliki pengunjung bahkan saat pertama ia berada di sini hingga saat ini. Motel yang hanya memiliki dirinya juga laki-laki pembunuh itu sebagai pengunjungnya.

Park Ji Yeon mendongakkan kembali wajahnya dan menatap laki-laki itu yang berada cukup jauh darinya tersebut.

“Apa kau tak bisa untuk menghentikannya untuk pergi?”

Nam Woo Hyun tersenyum tipis mendengar apa yang dikatakan Ji Yeon padanya. ia lantas meletakkan secangkir teh pada meja yang berada tak jauh dari Ji Yeon saat ini.

“Minumlah, kau pasti lelah karena harus berlari seharian bukan?”

“Tunggu, apa kau benar tak bisa menghentikannya?”

Nam Woo Hyun terdiam sebelum akhirnya ia kembali menatap gadis itu kali ini.

“Adalah seorang Alpha yang mengendalikan seluruh pembunuh bayaran. Ia yang akan memberikan target-target untuk dibunuh, dimana pada semua target terdapat imbalannya. Target tersebut adalah permintaan client sang Alpha yang tak ingin tangannya kotor. Seorang Alpha yang identitasnya tidak pernah diketahui oleh siapapun. Dia juga yang mengetahui dimana pembunuh bayarannya berada. Entahlah, ia seperti berada dimana-mana,” ucap laki-laki itu seraya memandang gadis itu singkat.

“Sekali kau terhubung olehnya, selamanya kau tak akan pernah bisa berhenti dan menghentikan pekerjaanmu dengannya. Seperti kontrak mati dengannya, jika kau mati, maka kontrakmu telah usai. Tapi jika kau berusaha untuk berhenti darinya, maka alpha lah yang akan memaksamu untuk kembali, atau bahkan jika kau melindungi targetmu, kau akan menjadi target selanjutnya untuk rival-rivalmu,” lanjut laki-laki itu kali ini.

Park Ji Yeon menggigit bibir bawahnya. Ia tak tahu sebelumnya bahwa akan seperti ini jadinya. Ia hanya tidak ingin pulang itu saja. Ia tak tahu bahwa keadaan mereka semakin terancam tiap harinya. Mereka harus berlari-lari dan berusaha menyembunyikan dirinya agar diri mereka tak terbunuh. Belum lagi, usaha dimana ayahnya berusaha mencarinya selama ini.

Ia juga tak ingin melihat Kim Sung Gyu selalu pergi meninggalkan mereka untuk beberapa hari dan terkadang laki-laki itu pulang dengan penuh luka di tubuhnya. Ia tak mau melihat laki-laki itu terluka, apalagi terluka demi melindunginya selama ini.

“K-kenapa ia melindungiku? Bukankah aku adalah salah satu targetnya, jika ia membunuhku sekarang, jika ia membunuhku, semua ini tak akan terjadi, bukan?”

“Terlambat,”

“A-apa?”

“Ia terlambat membunuhmu. Ia sudah menjadi target untuk para rivalnya. Maka jika kau juga dirinya terbunuh, Alpha akan memberikan imbalan yang lebih besar. Jika kau ingin ia berhenti, itu tak ada gunanya,”

“Tapi kenapa? Tapi kenapa ia tak membunuhku saat itu? Kenapa ia malah melindungi saat itu?”

“Karena…sesuatu di dalam dirimu,”

Park Ji Yeon terdiam sesaat ketika Nam Woo Hyun tersenyum ke arahnya sebelum ia menyisip pelan secangkir teh yang ia genggam saat ini.

“Sekitar tiga tahun yang lalu, seseorang berusaha menghentikan apa yang dilakukan Sung Gyu hyeong selama ini. Dia Im Jae Na, seorang gadis yang Sung Gyu hyeong cintai. Mereka tahu resiko yang akan mereka hadapi nantinya, namun mereka seakan tak peduli. Dan suatu hari, akibat kelengahan Sung Gyu hyeong, Im Jae Na tiba-tiba saja menghilang dan ia ditemukan tak bernyawa lagi,”

Nam Woo Hyun menatap sekilas Park Ji Yeon yang kali ini tanpa senyum di wajahnya. Ia menarik nafasnya sejenak sebelum ia melanjutkan kalimatnya kembali.

“Ia tahu bahwa mungkin Alpha lah yang menginginkan gadis itu mati, sehingga Sung Gyu hyeong dapat kembali padanya dan bekerja untuknya. Maka saat itulah, Sung Gyu hyeong berusaha untuk melakukan semua tugasnya. Ia meyakini bahwa, semakin ia sering menuntaskan setiap targetnya, ia akan semakin dekat dengan Alpha, dan saat itulah, ia akan membunuh Alpha untuk membalaskan dendam atas kematian Jae Na, ” lanjut laki-laki itu kali ini.

“Dan…kau memiliki sesuatu yang membuatnya teringat pada Jae Na yang bahkan membuatnya melupakan misinya untuk balas dendam atas kematian Jae Na,”

Park Ji Yeon terdiam terpaku saat Nam Woo Hyun telah selesai dengan kalimatnya. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, tapi yang jelas hal tersebut yang mengusik dirinya kini.

“Baiklah nona, kukira kau harus istirahat saat ini. Aku harus pergi sekarang,” ucap lali-laki itu yang beranjak dari kursinya diikuti dengan Park Ji Yeon. Laki-laki itu lantas membuka pintu kamar tersebut hendak pergi. Ia kemudian melambaikan salah satu tangannya.

“Akh!”

Park Ji Yeon terperangah saat sebuah peluru atau entahlah baru saja menembus salah satu bahu laki-laki itu dengan begitu cepat. Park Ji Yeon lantas berlari demi menutup pintu kamar tersebut dan menarik laki-laki itu menjauh. Mereka sadar bahwa mereka tidak hanya berdua pada motel yang mereka tempati saat ini, mungkin saat ini beberapa orang tengah menunggu mereka di luar sana saat ini.

“Park Ji Yeon, apa kau ada di sana sekarang? Keluarlah dari sana, kau aman sekarang,”

Nam Woo Hyun yang kini bersiap dengan salah satu pistol tangan yang entah berasal dari mana, lantas menatap Park Ji Yeon dalam sekejap. Park Ji Yeon terlihat menelan ludahnya begitu berat.

Park Ji Yeon tahu bahwa yang ada di luar sana adalah ayahnya. Ia tahu bahwa ini adalah akibat dari kebodohan dirinya yang memberanikan diri untuk keluar. Entah berapa bawahan yang ayahnya bawa untuk mengepung mereka saat ini. Para penembak jitu pembawa senjata laras panjang mereka kini siap intuk meluncurkan puluhan pelurunya pada Woo Hyun saat ini, oh bukan, tak hanya laki-laki itu, tetapi juga dirinya.

“Keluar dari sana kubilang! Atau aku akan memerintahkan seluruh sniper ini untuk menembaki tempat dimana kau berada,” pekik pria berusia sekitar 50 tahunan tersebut. Park Ji Yeon menggigit bibir bawahnya ketakutan, ia memeluk tubuhnya seakan meminta pertolongan. Nam Woo Hyun yang tengah menahan rasa sakit pada salah satu bahunya tersebut dapat melihat hal tesebut dengan jelas.

“Satu!” Nam Woo Hyun membelalakkan matanya pria tersebut terdengar tak main-main dengan perkataannya saat ini. Ia tak mengira bahwa pria itu yang seakan tega untuk membunuh anaknya sendiri.

“Dua!”

Park Ji Yeon dengan tangan gemetar mulai beranjak dari tempatnya, namun Nam Woo Hyun mencegahnya. Entah apa yang terjadi antar keduanya, namun Ji Yeon terlihat ketakutan saat ayahnya terdengar tak main-main dengan apa yang dikatakannya. Park Ji Yeon menatap Woo Hyun dengan setengah menangis, namun laki-laki itu mencoba tersenyum di balik rasa sakitnya saat ini. Laki-laki itu lalu menarik Park Ji Yeon menuju salah satu jendela belakang. Dengan salah satu bahu, laki-laki itu memecahkan jendela tersebut dan menuntun gadis itu untuk keluar bersamanya.

Peluru-peluru tersebut tak segan kembali menghujani mereka saat keberadaan mereka sempat diketahui oleh beberapa penembak jitu yang kini bersiap membunuh mereka. Berulang kali Woo Hyun berusaha membalas tembakan demi tembakan demi melindungi Ji Yeon, meski ia tahu itu tak akan ada artinya.

Park Ji Yeon meringis kesakitan saat salah satu sisi perutnya baru saja terluka akibat peluru yang meleset. Nam Woo Hyun tahu mereka tak bisa berlari lebih jauh lagi. Setidaknya beberapa pohon rimbun pada halaman belakang dapat menjadi tameng sementara mereka saat ini.

“Nona, kita tak bisa bertahan disini lebih lama lagi. Kita harus melakukan sesuatu,” Nam Woo Hyun yang masih menahan rasa sakitnya dan berusaha menahan pendarahan pada sisi perut Ji Yeon. Mereka bisa saja mati bersama hari ini, tapi mereka tak bisa menyerah begitu saja. Woo Hyun tahu bahwa Sung Gyu juga diluar sana berjuang hidup demi melindungi gadis yang kini berada di dekatnya saat ini. Nam Woo Hyun sempat terdiam, namun sedetik kemudian, sebuah senyum di wajahnya kembali terlihat saat baru saja sebuah ide melesat di otaknya.

“Nona, tolong lepas jaketmu,” ucap laki-laki itu kali ini. Park Ji Yeon yang masih merintih kesakitan, memandangnya tak mengerti. Namun laki-laki itu malah tersenyum di situasi yang genting seperti ini.

“Ini adalah satu-satunya cara dimana kau bisa selamat. Jika mereka berusaha mengamankanmu, mereka tak mungkin akan menembaki kita tadi. Tapi nyatanya mereka ingin kita berdua yang mati. Mereka tahu bahwa kau adalah satu-satunya tak bersenjata saat ini, mereka akan membunuhmu lebih mudah, nona. Aku akan berpura-pura sebagai dirimu untuk menghadapi mereka, sementara kau pergi dari sini,”

“Tidak. Jangan! Kau akan terbunuh, mereka–”

“Nona, apa kau tahu aku juga seorang pembunuh bayaran? Aku tak bisa membiarkanmu terbunuh di sini, atau Sung Gyu hyeong akan membunuhku nanti. Kau tak perlu khawatir, nona,” ucap laki-laki itu meyakinkan. Park Ji Yeon yang sempat ragu, lantas melepas jaket yang ia kenakan guna dikenakan laki-laki itu. Woo Hyun dengan cepat mengenakan jaket gadis itu pada tubuhnya.

“Setelah ini, kau harus lari sejauh mungkin. Jangan pernah melangkah kesini lagi. Setelah ini kau harus berjuang sendiri. Jika kau ingin bertahan hidup, kau harus pergi dari sini,” ucap Woo Hyun meyakinkan. Ia dapat bernafas lega saat Park Ji Yeon kini menganggukkan kepalanya. Woo Hyun terlihat terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengenakan tudung jaket bewarna abu-abu tersebut dan menyembunyikan pistol tangannya pada salah satu balik jaketnya. Ia sempat sedikit terjungkal saat beberapa peluru terkesan memburunya kembali.

Beberapa menit berlalu, ia lantas kembali beranjak saat menurutnya situasi memungkinkan. Ia lalu berjalan menuju beberapa orang yang siap membunuhnya. Dan benar, mereka menahan tembakan saat sosok yang mereka yakini adalah Ji Yeon berjalan ke arah mereka dengan tanpa ragu.

“Akhirnya kau keluar juga, anakku. Kemarilah,” ucap pria berumur 50 tahun tersebut dengan tenang. Para snipper benar-benar menghentikan tembakan mereka dan menunggu sosok tersebut untuk berjalan ke arah mereka. Park Ji Yeon yang melihat hal tersebut bersiap untuk kabur. Ia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan dirinya untuk berlari menuju sisi terdalam pohon-pohon rimbun yang berada tepat di belakang motel.

Namun sayang seorang penembak jitu tidak mudah dikelabuhi, ia mengarahkan bidiknya menuju Ji Yeon yang tengah berlari. Mengetahui hal tersebut Woo Hyun lantas mengeluarkan pistolnya dan menembakkan pelurunya dengan cepat penembak yang mengetahui keberadaan Ji Yeon. Ia juga menembakkan beberapa pelurunya ke arah penembak jitu yang terlihat sebelum mereka sempat menembakkan peluru mereka padanya.

Ia lalu mengarahkan bidiknya pada pria berusia 50 tahun yang sedang memandangnya dengan pandangan tajam miliknya. Ia besiap untuk menarik pelatuknya, namun berapa kali pun ia berusaha menarik pelatuknya, satu pun dari pelurunya enggan keluar.

“Sial!”

Ia tahu ia kehabisan peluru saat ini. Para penembak jitu yang tersisa tak lantas membunuhnya. Mereka masih menunggu aba-aba pria tua itu. Woo Hyun yang merasa kalah lantas melempar pistol kosongnya. Benar, mungkin ini adalah hari akhir dari hidupnya. Ia tak bisa kemana-mana lagi.

Nam Woo Hyun masih tak gentar memandang pria yang beberapa bagian rambutnya mulai memudar itu. Pria yang terlihat kejam tersebut lantas menaikkan salah satu tangannya dan dengan sekali sentik, belasan penembak jitu tersebut melepaskan tembakan mereka secara bersamaan hingga membuat—laki-laki itu benar-benar tak berdaya saat ini.

Kim Sung Gyu terdiam saat ia dapat melihat orang yang sangat ia kenal kini terpelungkup tak berdaya di hadapannya. Nafasnya terengah saat melihat darah yang mulai mengering pada sisi dimana laki-laki itu berada. Wajah yang selalu tersenyum padanya yang kini terlihat begitu kacau akibat belasan peluru yang menembusnya terlihat tak berdaya. Nam Woo Hyun terbunuh.

Kim Sung Gyu melihat liar sekelilingnya. Motel kini terlihat kosong meski beberapa mayat bertuxedo hitam juga sempat ia temukan di sekitar motel. Kim Sung Gyu memandangi badge yang ia genggam. Sebuah badge yang ia dapat dari tuxedo salah satu mayat yang ia temukan sebelumnya. Ia menggengam erat badge saat ia baru saja teringatkan pada sesuatu. Benar, badge yang terlihat familiar tersebut, badge yang mungkin milik pembunuh Nam Woo Hyun, tidak lain adalah group mafia ayah Park Ji Yeon. Lalu dimana Park Ji Yeon sekarang? Apa mereka membawanya serta?

Kim Sung Gyu melangkahkan kakinya menuju kamar yang dulunya ia tempati bersama Ji Yeon sebelumnya. Kamar yang menjadi begitu berantakan terlihat kosong kini. Bingkai jendela yang menghadap ke arah halaman belakang kini pecah. Atau mungkin Woo Hyun sengaja memecahkannya untuk Ji Yeon?

Kim Sung Gyu menaikkan kembali pistol yang ia bawa. Pistol yang kini terisi penuh dengan amunisi sengaja ia pasangkan pada kuda-kudanya. Jika ia benar, maka Ji Yeon melarikan diri saat ini dan entah ia mungkin kini sedang menunggunya. Kim Sung Gyu melompati bingkai jendela yang berukuran besar tersebut, dengan langkah waspada, ia lantas memacu kakinya menuju rimbunnya pepohonan tersebut. Ya, gadis itu pasti tengah menunggunya saat ini.

Kim Sung Gyu semakin memacu langkahnya saat ia dapat mencium bau anyir darah yang semakin menyengat saat ia melangkahkan kakinya semakin dalam. Ya, lahan yang tak pernah disentuh itu, terlihat telah diinjak oleh seseorang sebelumnya. Dan ia harap itu adalah Ji Yeon.

Bau anyir darah yang semakin menyengat itulah yang menuntunnya kini pada sebuah gubuk kayu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Gubuk dengan kayu yang mulai rapuh tersebut sempat berderit saat laki-laki itu lantas membukanya pelan, namun–

“Siapa itu?!”

“P-park Ji Yeon?” Kim Sung Gyu lantas menurunkan senjatanya saat gadis itu kini berada pada sebuah sudut gubuk tersebut dengan sebuah pistol. Gadis yang terlihat kacau tersebut mengembangkan bibir keringnya saat laki-laki itu berjalan mendekat. Park Ji Yeon beranjak dari tempat dimana ia berada dengan begitu kesusahan.

“A-akhirnya kau menemukanku,” namun sedetik kemudian gadis itu lantas kehilangan kesadarannya secara penuh tepat saat jarak mereka hanya satu langkah. Dan dengan sigap laki-laki itu lantas menahannya. Ia tersenyum miris saat ia tahu bahwa bau anyir darah berasal dari luka gadis itu saat ini.

Kim Sung Gyu melihat pada sekitar gubuk dimana ia berada. Benar, ia ingat, gubuk ini merupakan gudang persenjataan milik Woo Hyun. Jika saja, jika saja laki-laki itu dapat melangkahkan kakinya sampai sejauh ini, ia tak mungkin kehilangan laki-laki itu saat ini. Jika saja.

Park Ji Yeon membuka matanya perlahan saat bau obat anestesi yang begitu menyengat baru saja tercium oleh hidungnya. Ia mengusap matanya pelan saat sebuah cahaya baru saja mengusik tidurnya. Kepalanya begitu pening saat ini, hingga ia bersumpah tak ingin bangun. Sesuatu yang terasa begitu nyeri dan perih kembali terasa saat ia baru saja menggerakkan salah satu tangannya. Oh benar, bukankah ia tertembak? Tunggu, bau anestesi ini–

“Kau sudah bangun?”

“K-kau–”

Kim Sung Gyu menatap gadis itu dalam diam tanpa sebuah senyum atau apapun. Laki-laki yang tengah duduk di seberang ranjang dimana gadis itu berada saat ini, hanya menatapnya tajam.

“Apa kau yang membawaku kemari?”

“Kau hampir saja mati. Dan kau baru saja sadar sejak tiga hari yang lalu akibat kehabisan banyak darah,”

Park Ji Yeon menundukkan kepalanya.

“Jelaskan kenapa aku menemukan ini,” ucap Sung Gyu yang lantas melemparkan sebuah badge ke arah Ji Yeon. Ji Yeon sempat terkejut namun kemudian ia kembali menundukkan kepalanya. Keadaan kamar tersebut kembali sunyi, sama saat Ji Yeon masih terlelap di tidurnya. Ya, mereka berdua membisu kali ini.

“Kau diberikan misi untuk membunuhku bukan? Aku tahu, sebenarnya ayahku yang menginginkan kematianku,” ucap gadis itu yang mulai membuka mulutnya. Park Ji Yeon lantas mengangkat wajahnya dan kembali menatap Sung Gyu yang masih berada di tempatnya.

“Dua tahun yang lalu, ibuku dibunuh oleh seseorang yang tak dikenal. Ayah bilang, ia dibunuh oleh salah satu lawan bisnisnya, tapi aku tahu, ayahku lah yang merencanakannya. Aku juga ibuku, selalu berusaha menghentikan apa yang dilakukan ayah selama ini. Kami selalu berusaha untuk menghentikan apa yang dilakukan ayah, bahkan kami tak segan akan melaporkannya ke pihak yang berwajib suatu hari nanti, jika ia tetap melakukan kejahatan. Karena kami memang mengetahui apa saja yang ia lakukan selama ini.”

“Karena ayah mengetahuinya, maka ia memutuskan untuk membunuh kami berdua, meski bukan dengan tangannya. Pernikahan yang diselenggarakan hanya sebuah skenario yang ayahku buat hanya untuk membunuhku, aku tahu itu,”

“Dan kau tak menceritakan ini semua sebelumnya?” potong Sung Gyu yang terdengar entah begitu kasar.

“Dan kau baru saja membuatku kehilangan semuanya. Dan sekarang, Nam Woo Hyun?” ucapnya yang terdengar begitu geram. Park Ji Yeon dapat melihat amarah Sung Gyu yang kini meluap. Ia terlihat dari gemeratak giginya saat ini

“Maaf a-aku–”

“Aku akan memaafkanmu jika aku bisa membunuh ayahmu saat ini,” ucap Sung Gyu yang kini mulai beranjak. Park Ji Yeon yang hendak menahan laki-laki itu, tiba-tiba saja menghentikan aksinya saat sekali lagi rasa perih kembali menyerangnya. Kim Sung Gyu terlihat menghentikan langkahnya saat Park Ji Yeon merintih pelan kesakitan saat ini, meski ia berusaha untuk menghiraukannya.

“T-tunggu, Tuan. Kau tak bisa masuk begitu saja, gadis di ruang 206 masih belum sadarkan diri,”

“T-tuan!”

Kim Sung Gyu terdiam sejenak saat setidaknya ia mendengar kegaduhan akibat beberapa petugas rumah sakit yang ada di luar saat ini. Ia tahu apa apa yang terjadi di luar saat ini. Ya, dirinya juga Ji Yeon merupakan orang yang paling dicari di Seoul saat ini. Dan mungkin saat ini orang-orang tersebut sedang mencari mereka baru saja mengetahui keberadaan mereka . Kim Sung Gyu berbalik dengam cepat sebelum akhirnya ia menatap Ji Yeon gusar.

“Kita harus pergi, sekarang!”

“Sudah kami katakan berulang-ulang, kami ini polisi,”

“Tapi tuan, kalian…”

Lee Ho Won meletakkan salah satu jarinya pada bibirnya, sebagai isyarat agar mereka diam. Laki-laki itu lantas menaikkan pistol tangannya saat meteka kini berada cukup dengan kamar yang mereka ruju. Benar, kamar 206. Mereka terlihat bersiap untuk membuka pintu tersebut secara bersamaan. Salah satu agen menghitung pelan, dan dalam hitungan ketiga mereka lantas mendobrak pintu kamar rumah sakit tersebut keras.

“Ya Tuhan, tak mungkin,” ucap salah satu perawat yang saat ini kebingungan. Benar, ia tak mungkin salah, sebelumnya memang seorang pasien tengah di ruangan berada di sana dengan luka yang cukup parah, namun mereka tak pernah mengira bahwa kini pasien tersebut menghilang tiba-tiba.

“Bagaimana Detektif Lee? Kita kembali kehilangan gadis itu,”

Laki-laki yang memang mengetuai pengejaran, kini hanya meletakkan kembali senjatanya di tempat semula. Ia lalu berjalan menuju ranjang yang masih berantakan si sana, beberapa helai rambut bewarna almond sempat mencuri perhatiannya yang kemudian benda tersebut beralih pada kantungnya.

“Bagaimana kau bisa menemukan gadis itu saat? Kau bilang, ia ditemujan dengan keadaan tak sadarkan diri,” tanya Lee Ho Won pada saru-satunya perawat wanita di ruangan tersebut.

“Seseorang menelpon kami, bahwa terdapat sesworang yang tak sadarkan diri di suatu tempat saat itu. Kami mengira itu adalah keisengan seseorang, namun saat kami pergi ke tempat tersebut, gadis itu memang ada dan tengah tak sadarkan diri,”

Lee Ho Won tersenyum tipis. Sepeeti dugaannya selama ini, gadis itu adalah anak mafia yang diculik saat itu, namun ia tak menyangka laki-laki itu akan melindungi gadis itu saat gadia itu terluka.

Jendela kamar yang terlihat terbuka lebar menarik perhatiannya saat ini. Benar, mungkin gadis itu dibawa pergi kembali oleh laki-laki itu. Laki-laki yang tak lain adalah sosok Angel.

Park Ji Yeon mengeluarkan sebelah tangannya pada bingkai jendela mobil yang sengaja dibuka. Suara angin akibat telapak tangannya yang hendak menangkapnya mulai terdengar. Ia lantas tersenyum akan hal itu. Sudah sejak beberapa jam yang lalu, ia juga laki-laki yang kini berada di bangku kemudi, berada di mobil tersebut. Entah kemana lagi dia dibawa pergi, karena sejak pertama kali mereka menduduki bangku masing-masing, mereka sama sekali tak saling berbicara.

Semerbak daun teh sempat menyapanya kali ini. Benar saja, kedua sisi jalan memperlihatkan begitu luasnya ladang dengan tanaman sejenis, tanaman teh. Beberapa rakyat setempat, sempat menyapa mereka hangat saat mereka semakin memasuki jalanan yang mulai menyempit saat ini. Ji Yeon tahu aroma ini, kini ia berada pada sebuah desa kecil yang penuh dengan ladang tehnya, Boseong. Meski laki-laki itu tak memberitahunya tentang ini semua, ia seakan meminta gadis itu untuk mengetahuinya sendiri.

“Setelah ini kau harus menuruti permintaanku. Kau hanya perlu diam, maka semuanya aman,”

Park Ji Yeon menatap laki-laki yang berada di seberangnya. Hal itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan sejak beberapa jam yang lalu mereka di mobil. Park Ji Yeon tersenyum tipis, bukankah ia selalu mendengarkan apa yang dikatakan laki-laki itu padanya selama ini?

“Jika kau mencoba kabur sekali lagi, aku akan membiarkanmu,” lanjut laki-laki itu tenang. Park Ji Yeon memandang kembali laki-laki tersebut, kali ini dalam diam.

“Aku tak pernah mencoba kabur,” ucap gadis itu pelan pada akhirnya. Kim Sung Gyu masih terpaku pada jalan yang ada di depannya, sebelum akhirnya ia terlihat membuka mulutnya kembali.

“Jika saat itu kau tak mencoba kabur, mereka tak mungkin membunuh Woo Hyun,”

Park Ji Yeon terkesiap. Ia terlihat menggigit ujung bibirrnya saat ini. Apa pria itu tak sadar bahwa ia kabur hanya untuk membeli beberapa obat demi laki-laki itu? Jika saja laki-laki itu berhenti untuk melukai dirinya sendiri, ia tak harus melihatnya terluka.

Kim Sung Gyu melepaskan seat belt-nya saat ia baru saja menghentikan laju mobilnya pada sebuah rumah berukuran kecil. Laki-laki itu lantas mengambil tas berukuran cukup besar yang berada di jok belakang sebelum ia akhirnya keluar dari mobilnya. Melihat hal tersebut, Ji Yeon mengikutinya saja.

“Tuan Jang, akhirnya kau datang. Kau pasti lelah selama perjalanan dari Seoul,” ucap pria tua dari dalam rumah tersebut. Pria yang terlihat ramah tersebut lantas mendekati Kim Sung Gyu hangat. Mungkin kali ini, Sung Gyu tengah sengaja menyamarkan namanya.

“Oh, Nyonya Jang? Jadi inikah istri anda tuan Jang? Dia cantik sekali,” ucapnya yang kali ini berjalan mendekati Ji Yeon dengan wajah senangnya dan lantas menyalami gadis itu saat ini. Istri? Park Ji Yeon lantas melemparkan pandangannya pada laki-laki tersebut bingung, namun benar saja laki-laki itu seakan tak peduli.

“Apakah semuamya sudah disiapkan ahjussi?”

“Ya, sejak anda datang beberapa hari yang lalu, saya sudah memperbaiki beberapa bagian yang rusak di rumah ini. Meski rumah ini rumah yang cukup tua, tapi yakinlah tuan Jang, rumah ini tidak membuat anda menyesal untuk membelinya,”

Kim Sung Gyu lantas mengangguk sebelum akhirnya ia tersenyum lebar pada pria tua itu. Park Ji Yeon yang sempat melihat tersebut, hanya terdiam. Sebelumnya ia tak pernah melihat laki-laki itu tersenyum bahkan padanya. Jika saja, laki-laki itu sering tersenyum, ia akan terlihat lebih baik, batinnya.

“Baiklah, saya kira cukup mungkin sebaiknya saya pulang sekarang. Ah,  bila anda butuh sesuatu, rumah saya berada tak jauh dari sini,” ucap pria itu saat ini yang lantas berjalan keluar saat Sung Gyu mengangguk pelan merelakan pria itu pergi.

Kim Sung Gyu dengan cepat menutup daun pintu rumah dimana ia berada saat ini setelah pria tua itu benar-benar pergi kali ini. Laki-laki itu juga lantas menutup beberapa tirai jendela dengan begitu rapat.

“Masyarakat desa ini, mempunyai kemungkinan kecil untuk mengenal kita. Mereka yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, adalah peluang kita untuk bersembunyi. Dan mungkin ini adalah tujuan paling akhir untuk mereka yang tengah mencari kita saat ini,” ucap laki-laki itu yang kini meletakkan tas yang ia genggam sedari tadi pada salah satu tempat duduk. Ia lantas memasang beberapa amunisi pada senjatanya sebelum ia melakukan tes beberapa kali pada bidiknya. Ia juga memperlihatkan beberapa buah peledak dari sana. Park Ji Yeon tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu kali ini.

“Kau akan balas dendam atas kematian Woo Hyun?” tanya Ji Yeon kali ini. Namun laki-laki itu terlihat tak menghiraukannya.

“Jika kau tetap tak bisa melupakan dendammu, kau akan terus terluka karenanya,” lanjut gadis itu kali ini. Tapi laki-laki itu tetap tak mendengarkannya. Kim Sung Gyu terlihat mengangkat tas tersebut kembali dan berjalan menuju pintu. Melihat hal tersebut Park Ji Yeon bergegas menuju laki-laki itu dan lantas menahan tubuh laki-laki itu dengan kedua lengannya dengan erat.

“Kumohon…jangan pergi. Berhentilah untuk menyakiti dirimu sendiri,”

“Kumohon…”ucap Ji Yeon lirih. Kim Sung Gyu terdengar membuang nafasnya saat suara gadis itu terdengar menahan tangisnya. Kim Sung Gyu melepaskan kedua lengan itu cukup kasar, hingga gadis itu sedikit terjungkal karenanya.

“Jika kau ingin aku tak membunuh ayahmu, terlambat,”

Park Ji Yeon terlihat menundukkan wajahnya saat laki-laki itu terlihat kembali melanjutkan langkahnya untuk berjalan meninggalkannya sekali lagi.

“Jika kau tetap tak bisa melupakan dendammu, kau akan terus terluka karenanya.”

Kim Sung Gyu menggelengkan kepalanya pelan. Entah kenapa apa yang dikatakan gadis itu sebelum ia pergi masih menghampiri benaknya. Kim Sung Gyu kembali menarik nafasnya dan mengeluarkannya perlahan. Kedua tangannya yang masih membawa senjata laras panjang kaliber terbaru, berusaha ia siapkan dalam kuda-kudanya kembali. Sebuah bangunan lebih nampak sebagai bangunan penyimpanan terlihat begitu sepi, namun beberapa menit kemudian beberapa pria bertuxedo berjalan menuju luar bangunan tersebut. Rupanya target yang ia cari belum muncul juga.

Ia tak perlu khawatir untuk tertangkap basah, karena saat ini ia berada di dalam mobilnya dan gelapnya malam dirasa cukup untuk menyembunyikan dirinya dari pria-pria di sana. Salah seorang bertuxedo yang tengah bertugas saat ini terlihat menjawab sebuah panggilan pada ponsel miliknya sebelum akhirnya mereka kembali masuk ke dalam bangunan tersebut.

Sebuah mobil sport bewarna hitam metalic tiba-tiba saja berjalan dengan kecepatan rata-rata di hadapan bangunan tersebut. Bangunan yang menjadi tempat penyimpanan jutaan ton narkoba sejak beberapa tahun lamanya itu, berada di sebuah tempat yang cukup tersembunyi, hingga memang tak ada yang mengetahui keberadaannya.

Pria bertuxedo lain berjalan keluar dari bangku kemudi sebelum akhirnya ia membuka pintu penumpangnya. Ya, seorang pria berumur sekitar 50 tahunan kini mulai terlihat. Pria dengan tongkat kayu pada salah satu sisi tangannya berjalan ke luar dengan begitu arogan.

Kim Sung Gyu bersiap kembali dengan pelatuknya. Benar, dia adalah targetnya selama ini. Pria yang membunuh temannya begitu keji tanpa pengampunan. Pria yang meninggalkan mayat Nam Woo Hyun begitu saja setelah ia membunuhnya. Pria itu, ayah Park Ji Yeon.

Kim Sung Gyu kembali bersiap menarik pelatuk senjatanya saat bidik ia arahkan kembali pada targetnya. Ia menahan nafasnya, agar bidiknya berada pada orang yang seharusnya

“Jika kau tetap tak bisa melupakan dendammu, kau akan terus terluka karenanya.”

Kim Sung Gyu kembali menggelengkan kepalanya. Kalimat tersebut terus saja mengganggu pikirannya kembali. Kalimat dimana gadis itu mencegahnya saat itu. Namun inilah saatnya, hanya ini kesempatannya untuk membunuh pria itu.

“Aish!”

Kim Sung Gyu menyerah. Ia tak bisa membunuh pria itu. Karena gadis itu? Entahlah. Ia tak tahu pasti. Ia meletakkan kembali senjata laras panjangnya pada jok penumpangnya. Matanya lalu beralih pada sebuah papan hitam yang memiliki button bewarna merah menyala di atasnya. Dengan penuh keyakinan, ia lantas menekan tombol tersebut tegas hingga dalam sekian detik suara ledakan terdengar begitu keras berasal dari bangunan tersebut. Bau sabu-sabu yang begitu menyengat dalam sekejap menyapa hidungnya saat bangunan tersebut hanya menyisakan keping-keping tak berarti juga kebulan asap.

Kim Sung Gyu tersenyum puas saat di sekitaran bangun tersebut beberapa pria bertuxedo terlihat kebingunan dan panik. Mereka lantas membantu pria tua itu berdiri yang sekiranya ikut terpental akibat ledakan yang sengaja ia buat. Pria tua yang terlihat begitu lemas tengah dibawa oleh beberapa bawahannya. Pria yang hampir kehilangan kesadarannya tersebut, rupanya sadar bila Kim Sung Gyu tengah mengintainya. Pria tua yang terlihat kesakitan itu sempat menatap Sung Gyu yang kini melambaikan tangannya, seakan bahagia atas rasa sakitnya sebelum akhirnya pria itu benar-benar kehilangan kesadarannya

Kim Sung Gyu menyalakan kembali mesin mobilnya sebelum ia melemparkan papan tombol peledaknya ke luar. Ia lalu mengemudikan mobilnya dan berjalan pergi dari tempat tersebut.

11 thoughts on “[Project Man In Love ] An Angel Chapter 1

  1. omona.. Jadi yg mau ngebunuh jiyeon itu appa nya sendiri?? Gila appanya Jiyeon, darah dagingnya sendiri mau dibunuh, dan istrinya juga dibunuh, atuh kalau gitu mah ga usah nikah dari pada ujung-ujungnya dibunuh,, Appanya Sadis

    Like

  2. Hiii author nim ^^
    Wah ini harus segara lanjut, penasaran sama lanjutannya masa, apakah ada korban lagi dalam misi penyelamatan putri mafia itu >< tp kenapa mati duluan T.T
    Okay itu saja~~~
    Keep writing heheheh

    Like

  3. ji yeon agak sedikit keras kepala disini
    sebenarnya agak gak suka sama cerita2 mafia kayak gini hehe , jalan ceritanya bagus dan gak terkesan tergesa-gesa .
    Good job ne author , buat genre yang kayak gini lagi ya ^^

    Like

    1. haha iyakah? hmm, sbnrnya ga ada mksd awal utk buat sperti ini, tapi krna ud trlanjur jadi aku lanjut aja. Hehe iya keras kepala, anyway next part mohon dtggu,trima kasih untuk mnyempatkan mmbaca 🙂

      Like

Leave a comment